Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

RUU Energi Baru Terbarukan Harus Untungkan Produsen Lokal

Kamis, 15 Juli 2021 18:33 WIB
Foto: Greenpeace
Foto: Greenpeace

RM.id  Rakyat Merdeka - Direktur Eksekutif Energy Watch Mamit Setiawan khawatir Rancangan Undang-Undang Energi Baru Terbarukan (EBT) lebih berpihak kepada importir dan membuat harga listrik semakin mahal.

Mamit menjelaskan, sebelum RUU EBT dibahas seharusnya pemerintah mendorong produsen dalam negeri melakukan penelitian dan riset mandiri agar dapat memproduksi EBT melalui solar panel dengan harga yang lebih kompetitif.

Sebab, menurutnya, kebutuhan solar panel ke depannya akan terus meningkat. Jadi dia berharap, jangan sampai Indonesia hanya dijadikan pasar bagi produsen luar negeri.

Baca juga : Menteri BUMN Pastikan Stok Obat Untuk Pasien Covid-19 Aman

"Kita harus bisa menciptakan kemandiri sektor energi. DPR harus memasukan komponen dalam negeri yang cukup besar terkait dengan PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) maupun PLTB (Pembangkit Listrik Tenaga Bayu atau Angin) ini," ujarnya, Kamis (15/7).

Ia mengingatkan, potensi pasar pembangkit EBT bisa mencapai Rp 7.000 triliun hingga 2050. Pasar sebesar itu hanya akan dinikmati asing dan agennya di dalam negeri jika Indonesia tidak bisa mandiri dalam produksi pembangkit EBT.

Hal itu menunjukkan, aneka aturan dan rancangan aturan soal EBT lebih menekan pada aspek komersial. Padahal, transisi energi menuju EBT seharusnya menekankan pada pelestarian lingkungan. "Ini sangat mengkhawatirkan," imbuhnya.

Baca juga : Soal Serius, PPKM Bukan Untuk Candaan

Mamit juga khawatir aneka aturan dan rancangan aturan soal EBT, khususnya terkait PLTS, berpeluang memicu biaya pokok produksi listrik. Dengan aturan sekarang, untuk setiap 1 GW PLTS IPP yang dimasukkan ke sistem, subsidi bisa bertambah sampai Rp 1,5 triliun.

Hal ini disebabkan dengan kewajiban PLN membeli energi listrik dari PV Rooftop yang menaikan biaya pokok produksi sebesar Rp 6/kWh sampai Rp 8/kwh dan akan terus meningkat seiring dengan peningkatan kapasitas PV Rooftop.

Dia menambahkan, kenaikan BPP otomatis akan meningkatkan subsidi dan kompensasi. Jika tarif untuk pelanggan subsidi, maka pemerintah akan mensubsidi tarif listrik tersebut.

Baca juga : Royal Safari Garden Tawarkan Liburan Edukasi Satwa

Untuk pelanggan yang non subsidi tetapi tidak ada tarif adjustment, maka pemerintah harus memberikan dana kompensasi kepada PLN.

Jika dinaikkan maka akan memberatkan bagi masyarakat. Padahal, kondisi saat ini, pelanggan yang disubsidi hanya 25 persen dan yang non subsidi sebanyak 75 persen dari total pelanggan PLN.

"Hal ini akan sangat memberatkan bagi PLN maupun pemerintah. Selain itu, hal ini juga akan menyebabkan penurunan pendapatan bagi PLN dalam jumlah yang cukup signifikan," tutur Mamit.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.