Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Jokowi Waswas Urusan Pangan

Rabu, 7 Desember 2022 07:30 WIB
Presiden Jokowi saat membuka rapat kabinet di Istana Negara, Selasa (6/12). (Foto: YouTube Setpres)
Presiden Jokowi saat membuka rapat kabinet di Istana Negara, Selasa (6/12). (Foto: YouTube Setpres)

RM.id  Rakyat Merdeka - Bukan politik, bukan ekonomi, ada satu hal yang saat ini jadi perhatian besar Presiden Jokowi. Apa itu? Urusan pangan. Jokowi waswas kalau sampai urusan pangan tidak tertangani dengan baik maka bisa memicu gejolak sosial dan politik. 

Hal tersebut dikatakan Jokowi saat membuka Sidang Kabinet Paripurna, di Istana Negara, Jakarta, kemarin. Rapat dihadiri para menteri. 

Soal pangan, disinggung oleh Jokowi di poin kedua. Awalnya, Jokowi menyinggung ancaman krisis perekonomian pada 2023. Kemudian, dia membahas soal krisis pangan. Namun, Jokowi memaparkan isu pangan ini lebih panjang dan runut dari pada isu lainnya. Bahkan, saat membahas ancaman krisis pangan, muka Jokowi terlihat sangat serius. Keningnya mengkerut.

"Krisis pangan, hati-hati mengenai ini, karena nanti bisa larinya pada masalah sosial dan politik," tegas Kepala Negara.

Eks Gubernur DKI Jakarta itu meminta agar kebijakan soal pangan ini dihitung dengan baik. Karena jika meleset, bisa memicu kenaikan harga bahan kebutuhan pokok.

"Utamanya yang berkaitan dengan beras, betul-betul hitung-hitungannya itu. Betul-betul hitungan lapangan," warning Jokowi, sambil membetulkan posisi mikrofonnya.

Baca juga : Joy Tobing, Wajib Jaga Kecantikan

Jangan sampai, perhitungan lapangan yang kurang cermat di lapangan membuat cadangan beras pemerintah (CBP) habis. Kondisi ini berbahaya jika tidak diantisipasi dan kadung diketahui oleh pasar.

"Cadangan kita habis, dilihat oleh pedagang dan akhirnya harga beras pasti akan naik. Ini supply dan demand pasti akan menyimpulkan itu," tegasnya.

Jokowi kembali mengingatkan bahwa situasi dunia saat ini sedang tidak baik-baik saja. Karena itu, setiap kebijakan yang berhubungan dengan urusan hajat hidup orang banyak harus dihitung dengan baik. "Itu betul-betul dikalkulasi, dihitung betul-betul," pesannya.

Jokowi meyakini, kolaborasi antarkementerian adalah kunci menghadapi ancaman krisis, khususnya krisis pangan yang mulai menghantam beberapa negara.

"Jangan terjebak pada ego sektoral. Lakukan konsolidasi data, konsolidasi konsolidasi policy dan juga konsolidasi dari pelaksanaan atau implementasi," pesannya.

Warning soal ancaman krisis pangan sebelumnya juga disampaikan Kepala Badan Pangan Nasional (BPN) Arif Prasetyo Adi, pada Senin lalu. Dia mengungkapkan, cadangan pangan di Bulog dan BUMN pangan sedang kritis.

Baca juga : Jokowi Sering Kasih Kode Untuk Prabowo

Ia menjabarkan, cadangan bahan pangan yang dimiliki pemerintah saat ini hanya beras, gula pasir, daging kerbau, dan sedikit minyak goreng. Itu pun, jumlahnya juga tipis. 

Misalnya, kata dia, beras yang dimiliki pemerintah adalah 515.119 ton. Padahal, kebutuhan bulanan nasional beras mencapai 2,5 juta ton. Artinya, pemerintah hanya memiliki cadangan sebesar 21 persen dari kebutuhan nasional.

Akankah krisis pangan melanda negeri ini? Pengamat pertanian dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Prof Dwi Andreas Santosa menilai, ancaman krisis pangan ini bukan isu baru yang dilontarkan lembaga-lembaga pangan dunia. Namun, seringkali tidak terbukti. 

"Saya tidak percaya sama sekali krisis pangan terjadi, karena itu diungkapkan sejak 2020 oleh FAO," kata Prof Dwi kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.

Karena faktanya, stok pangan selalu tercukupi. Hanya saja, isu itu seakan-akan sengaja digulirkan untuk mengerek harga.

"Bisa dibayangkan sejak diungkapkan FAO, harga pangan naik terus. Siapa yang menikmati? Ya negara-negara produsen," sebutnya.

Baca juga : Basuki Bahas Kerja Sama IKN Dengan Finlandia

Sementara Indonesia, ketergantungan impor pada 8 komoditas utama cukup tinggi dalam 10 tahun terakhir. Catatannya, dari tahun 2008 ke 2018 impor pangan mencapai 27 juta ton. "Tahun 2020 melonjak lagi, lalu 2021 rekor baru," rincinya.

Ia mengakui, persoalan pangan bukan perkara gampang, tapi jika merujuk pada data BPS, Indonesia sama sekali tidak kekurangan beras. Hingga akhir tahun, Indonesia masih ada kelebihan beras sekitar 1 juta ton lebih. Itu belum ditambah dengan produksi awal tahun 2023.

"Sangat aman, dan kita semua percaya dengan data BPS. Jadi, kenapa harus impor, jika menyakitkan petani. Karena petani dalam 3 tahun terakhir ini merugi. Dan baru sekarang mendapatkan harga bagus," terangnya.

Pakar Pangan IPB lainnya, Dr Sofyan Sjaf menilai persoalan mendasar saat ini adalah Indonesia masih belum punya data dasar, yang memuat berapa eksisting kondisi sawah yang ditanami, yang lagi produksi atau yang akan produksi. Termasuk data konsumsi beras perkeluarga dan lainnya.

Ia mengakui bahwa Indonesia punya penyuluh desa dan penyuluh pertanian, sebagai garda terdepan untuk meng-update data-data pangan tersebut. "Tapi ketika melakukan sensus lahan pertanian itu itu engga bisa dilakukan, karena keterbatasan metodologi," terangnya.

Sementara saat ini, pendataan lahan mengandalkan satelit. Namun, tingkat akurasinya, masih kurang. "Pernah ketika saya mengecek ke lapangan, ada 10 hektar lahan di desa itu, ketika saya masuk ternyata cuma 1,5 hektar. Itupun enggak ditanami semua. jauh errornya," ungkapnya. 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.