Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Beli 200 Rudal Anti Kapal Senilai Rp 7 Triliun Dari AS

Australia Serius Hadapi China

Kamis, 2 Juli 2020 05:37 WIB
Perdana Menteri Australia Scott Morrison. (Foto Reuters>
Perdana Menteri Australia Scott Morrison. (Foto Reuters>

RM.id  Rakyat Merdeka - Australia meningkatkan anggaran pertahanan untuk mengamankan kawasan Indo-Pasifik. Negara Kanguru itu diduga bakal lebih serius menyikapi ancaman dari China.

Dikutip AFP, kemarin, Australia meningkatkan anggaran pertahanannya sebanyak 40 persen menjadi 260 miliar dolar AS atau lebih dari Rp 3.700 triliun dalam 10 tahun. Sebelumnya, Australia pada 2016 berjanji menganggarkan 195 miliar dolar Australia (setara Rp 1.910 triliun) selama 10 tahun ke depan.

“Kami ingin kawasan IndoPasifik yang bebas dari paksaan dan hegemoni. Kami menginginkan suatu kawasan di mana semua negara, besar dan kecil, dapat terlibat secara bebas satu sama lain dan dipandu aturan dan norma internasional,” kata Perdana Menteri Australia Scott Morrison dalam pidatonya di Canberra, kemarin.

Meskipun Morrison tidak menyebut nama China, sikap Australia yang bersiaga di kawasan Pasifik dipandang sebagai sinyal bahwa Canberra berniat untuk bersikap lebih tegas dalam berurusan dengan Beijing dan tidak terlalu bergantung pada Amerika Serikat.

“China adalah suatu persoalan besar yang terus dibahas,” kata Sam Roggeveen, direktur Program Keamanan Internasional Lowy Institute yang berbasis di Sydney.

“Meskipun benar bahwa kita fokus pada kawasan kita, tetapi membeli rudal jarak jauh, terutama yang untuk sasaran di darat dapat mengundang tanggapan dari Beijing,” ujar Roggeveen.

Baca juga : Bantah Lakukan Serangan Siber, China Sebut Australia Lebay

Morrison mengatakan Australia pertama-tama akan membeli 200 rudal anti kapal jarak jauh senilai 800 juta dolar Australia (setara Rp 7,86 triliun) dari Amerika Serikat.

Australia juga akan mempertimbangkan pengembangan rudal hipersonik yang dapat melakukan perjalanan setidaknya lima kali kecepatan suara.

Namun, belanja pertahanan Australia itu tidak akan banyak membantu perbaikan hubungan dengan China yang merupakan mitra dagang terbesarnya. Kedua negara saling bersaing untuk mendapatkan pengaruh di Pasifik.

Setelah mengalami pukulan dari keputusan Australia pada 2018 untuk melarang masuknya jaringan broadband 5G dari Huawei China, hubungan bilateral kedua negara dalam beberapa bulan terakhir juga tegang usai Australia menyerukan penyelidikan independen tentang asal-usul pandemi virus corona.

Australia belakangan mempermasalakan praktik ‘pemaksaan ekonomi’ oleh China, di mana Beijing diduga menggunakan perusahaan teknologi seperti Huawei sebagai alat spionase untuk memperkuat posisi China dalam negosiasi bilateral.

“Kita harus hadapi kenyataan bahwa kita memasuki era baru yang cukup liar,” sambung Morrison.

Baca juga : Pendapatan Naik Rp 1 Triliun, Kinerja Siloam Makin Ciamik

“Selain menghadapi pandemi Covid-19 di dalam negeri, kita juga perlu mempersiapkan diri pada masa-masa usai Covid-19. Di mana dunia merupakan kawasan yang serba kekurangan, berbahaya dan kacau,” lanjutnya.

Bulan lalu, pemerintah Australia mengatakan “pelaku yang berasal dari negara canggih” telah menghabiskan waktu berbulan- bulan untuk meretas semua informasi tingkat pemerintahan, badan politik, penyedia layanan penting dan operator infrastruktur kritis negeri Kanguru. Australia mencurigai China. Namun, China membantah berada di balik serentetan serangan di dunia maya itu.

“Baru-baru ini sejumlah politikus Australia dan media massa mereka menyampaikan pendapat dan pemberitaan yang melibatkan China. Ini tuduhan yang tidak berdasar,” bunyi pernyataan pihak Kemenlu China.

“Mereka terus membuat cerita soal mata-mata China yang menyusup ke Australia. Kami pikir bagaimanapun trik dan skenario yang dipaparkan, kebohongan tetap tidak berubah,” pernyataan dikutip Kantor Berita China, Xinhua.

Meski demikian, Morrison mengaku terganggu terhadap terungkapnya dugaan operasi intelijen China di negara itu. Morrison bahkan menyatakan tidak bisa mengabaikan atau menganggap remeh hal itu. Menurut Morrison, intensitas serangan siber terhadap sejumlah lembaga dan korporasi berlipat ganda.

Aktivitas itu katanya membidik organisasi Australia di semua sektor. Termasuk di semua level pemerintah, industri, organisasi politik, pendidikan, kesehatan, penyedia jasa esensial hingga infrastruktur penting.

Baca juga : Lawan Covid, RI Dapat Pinjaman Rp 10,5 Triliun Dari Bank Dunia

“Maka dari itu kita memperkuat aturan hukum dan menambah sumber daya. Saya menganggap hal itu sangat mengganggu,” ujar Morrison.

Dan sekarang hubungan China-Australia yang suram telah meluas ke urusan perdagangan. China menangguhkan impor daging sapi dari empat pengolah daging terbesar di Australia dan memberlakukan tarif yang lumayan mahal untuk gandum, meskipun kedua belah pihak mengatakan bahwa hal itu tidak terkait dengan pertengkaran terbaru mereka.

Tahun lalu serangan siber menimpa Parlemen Australia, partai-partai politik dan univer- sitas. Saat itu pun China sudah menjadi tersangka utama. Sebagai balasan Pemerintah China memperingatkan ma- hasiswa dan wisawatan China agar menghindari Australia, dan menghukum mati seorang warga negara Australia atas dakwaan penyelundupan obat terlarang. [DAY]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.