Dark/Light Mode

Membaca Trend Globalisasi (5)

Paralel Antara Kontinutas, Dan Orisinalitas

Minggu, 9 Desember 2018 10:35 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Adalah benar Islam tidak diturunkan di ruang kosong yang hampa budaya dan peradaban. Islam lahir di dalam sebuah dunia yang sudah sarat dengan budaya dan peradaban. Nabi Muhammad Saw sebagai pembawa ajaran Islam tidak pernah mengklaim sebagai perintis budaya dan peradaban yang samasekali baru. Ia bahkan dengan tawadhu dikatakan dalam hadisnya: “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak mulia." Ia tidak pernah menolak budaya dan peradaban dari luar. Ia juga tidak pernah mematenkan budaya dan peradabannya yang dirasa positif untuk kemanusiaan. Ia menyerukan untuk mengejar pengetahuan walau sampai ke tanah Cina (utulub al-‘ilm wa lau bis Shin). Ia juga mengatakan: “Hikmah (peradaban) adalah milik umat Islam, ambillah di manapun kalian temukan” (al-hikmah dhalah al-mu’min fa¬haitsu wajadaha fa huwa ahaq biha). Al-Qur’an juga sejak awal menyerukan pentingnya memelihara kontinuitas budaya dan peradaban. Segala sesuatu yang positif pada umat-umat terdahulu harus dilestarikan, karena dengan tegas dikatakan: “Kami tidak membeda-bedakan antara seseorang pun (dengan yang lain) dari rasul rasul- Nya" (la nufarriq baina ahadin min rusulih). (Q.S. al-Baqarah/2:285). 

Pola imitatif budaya dan peradaban dalam Islam harus dianggap sebagai sesuatu yang niscaya. Mungkin inilah yang dipopulerkan Umar ibn Khaththab sebagai bid’ah hassanah, sebuah kelanjutan tradisi yang konstruktif. Jika kita berbicara tentang kebudayaan dan peradaban Islam berarti kita berbicara tentang tradisi luhur kemanusiaan yang diwarisi secara kumulatif dari zaman ke zaman. Kebudayaan dan peradaban (civilization/al-hadharah) Islam bukanlah sesuatu yang berdiri sendiri dan terpisah dengan budaya dan peradaban sebelumnya. Soal kehadiran Islam memberikan corak dan warna baru memang ia dan hal ini sulit di-ingkari. Di manapun dan sejak kapapun dalam lintasan sejarah kemanusiaan, selalu ada sintesa dan imitasi budaya dan peradaban. Hal ini lumrah dan wajar, karena bukankah padamu¬lanya anak amanusia ini berasal dari sepasang kakek dan nenek (Adam dan Hawa)? 
Peta budaya dan peradaban kemanusiaan dari zaman ke zaman memiliki nilai-nilai universal di samping nilai-nilai lokalnya. Islam sebagai jaran yang sarat dengan nilai-nilai universal sudah barang tentu memiliki pola dialektik sejarahnya. Dengan kata lain, satu sisi harus mempertahankan orisinalitas dan unsur-unsurnya yang genuine, tetapi pada sisi lain harus mampu menembus batas-batas geografis ddengan separangkat nilai-nilai lokalnya. 

Dalam kenyataan dialektika sejarah Islam, selain harus “menjinakkan” sasaran-sasarannya maka ia pun harus dijinakkan oleh sasaran-sasarannya. Sebagai contoh, selain harus mengislamkan Mesir, Persia, anak benua India, dan Nusantara, maka terlebih dahulu ia harus mengalami proses pemesiran, pemersian, pengindian, dan penusantaraan. Sama seperti Islam dalam periode awal, Islam yang lahir dan tumbuh di jazirah Arab lalu berekspansi keluar di kwasan sekitarnya, maka nilai-nilai Islam pun harus mengalami penyesuaian ke dalam dua konteks peradaban dengan apa yang disebut Marshall Hodgson dengan Irano-Semit di bagian Timur dan Afro-Erasia di bagia Barat. 
Ternyata di gurun pasir tandus ini terlahir seorang anak yatim bernama Muhammad yang kenudian dikenal sebagai Nabi dan Rasul. Nabi Muhammad sepintas terlahir sebagai manusia biasa dari keluarga yang biasa-biasa. Namun sepak terjan Nabi Muhammad betul-betul menakjubkan. Tidak pernah ditemukan sosok tokoh yang gagasan dan misi yang diembannya dianut oleh separuh belahan bumi.
 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.