Dark/Light Mode

Luhut, Bertindaklah, Jangan Omong Saja!

Rabu, 8 Januari 2020 07:20 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

 Sebelumnya 
Penyebab mahalnya harga gas di Indonesia sudah menjadi rahasia umum, sebenarnya. Faktor utama mahalnya harga gas adalah rantai distribusi yang terlalu panjang dan pemerintah sukar sekali memutus rantai distribusi yang seperti ular itu. Rantai distribusi yang panjang tentu meninggikan biaya. Saya pernah tanya seorang petinggi Pertamina. Ia membenarkan apa yang dilansir oleh Achmad Widjaja. “Pertamina kan milik pemerintah. Jika pemerintah hari ini memerintahkan kami untuk turunkan harga gas, tentu kami akan turunkan! Masalahnya, pemerintah berani tidak?!” ucap petinggi Pertamina itu kepada saya.

Kini, Menko Maritim dan Investasi, Luhut Panjaitan, dengan lantang mengatakan mahalnya harga gas karena di tingkat hulu banyak malingnya. Apa maksud Luhut? Apakah ia menuding rantai distribusi gas yang panjang itu dikuasai oleh pihak-pihak yang diduga “maling” dengan motif hanya untuk mengutip tambahan fee di rantai distribusi itu sehingga ketika sampai ke users, harga gas menjadi begitu mahal? Ketika Luhut secara gamblang menuding “banyak maling” di tingkat hulu bisnis gas, apakah Luhut sudah tahu siapa saja maling-maling itu? Kalau sudah tahu, kenapa tidak bisa diberantas dengan menggunakan tangan Presiden Jokowi? Bukankah dalam rapat kabinet Senin yang lalu. Presiden juga menyatakan kejengkelannya karena masalah harga gas yang tinggi sudah berjalan bertahun-tahun?

Baca juga : Jakarta Banjir, Apa Kerja Anies?

Salah satu industri yang paling terpukul akibat tingginya harga gas industri pupuk. Pupuk Indonesia selama ini tidak mampu bersaing dengan pupuk luar negeri, apalagi ex RRT, karena gasnya yang mahal. Padahal, 60% biaya produksi pupuk berasal dari gas. Tidak heran, pupuk impor makin deras masuk ke dalam negeri. Di sisi lain, pemerintah menilai subsidi pupuk semakin membengkak. Maka, muncullah wacana menghapus subsidi pupuk seperti yang pernah dilansir oleh mantan Wapres, Jusuf Kalla. Lebih baik subsidi itu diberikan langsung ke petani. kata mereka yang setuju penghapusan subsidi pupuk.

Harga pupuk yang mahal, kecuali karena harga gas yang tinggi, juga karena kurs dolar yang tidak stabil, bunga tinggi yang harus dibayar pabrikan, dan kondisi pabrik yang sudah tua. Makin tua mesin-mesin pabrik pupuk, tentu makin besar konsumsi gasnya. Pupuk Inskandar Muda (PIM) di Lhokseumawe, Aceh, misalnya, kondisinya masih memprihatinkan. Usia PIM 1 sudah lebih dari 30 tahun, sementara PIM 2 relatif baru, 11 tahun. Untuk bisa produksi, PIM harus membeli gas dari lokasi yang jauh, tentu dengan harga yang lebih mahal. Bulan November 2017 misalnya, PIM harus menghentikan poduksinya selama beberapa bulan, karena pasokan gas dari PT Perta Arun Gas yang berhenti total.

Baca juga : KPK: Antara Pesimisme Dan Optimisme

Pembangunan Pabrik NPK yang baru di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) senilai Rp 1 triliun diharapkan dapat membangkitkan kembali PT Pupuk Iskandar Muda. Itu pun dengan syarat ada jaminan pasokan gas dengan harga terjangkau. Pemerintah harus menyelamatkan PIM, sebab PIM kini satusatunya kebanggaan masyarakat Aceh setelah beberapa industri besar di Aceh – seperti pabrik gas Arun, ASEAN Fertilizer dan pabrik Kertas Kraft Aceh -- harus ditutup beberapa tahun yang lalu. Jika PIM pun terseokseok, kita khawatir masyarakat Aceh akan sangat kecewa dan marah.

Pemerintah kita sering mempunyai cara pandang yang keliru, yaitu pendapatan negara akan merosot jika harga gas diturunkan. Padahal, jika harga gas turun, pemerintah mendapatkan timbal balik dari penghasilan pajak akibat bertumbuhnya industri pengguna gas, baik berupa pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penghasilan (PPh) badan, maupun pajak-pajak lainnya. Harga gas yang compatible akan mendongkrak berbagai industri, khususnya industri pupuk. Pada akhirnya, industri pupuk merupakan industri sangat strategis, sebab pupuk tidak bisa dipisahkan dari sektor pertanian, terkait langsung dengan ketahanan pangan.

Baca juga : Waspadai Ancaman Terorisme Akhir Tahun

Maka, kita berharap Luhut Panjaitan berhenti omong melulu atau menembak sana-sini. Jika ia sudah mengetahui “kunci” permasalahan harga gas, bertindaklah segera. Segera turunkan harga gas, apalagi Presiden Jokowi sudah memberikan sinyal dukungan kuat. Alangkah jeleknya seorang pemimpin yang sudah tahu permasalahan tapi tidak berdaya untuk bertindak: El que sabe y no sabe que sabe. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.