Dark/Light Mode

Sentilan Jokowi Tentang Kasus AW-101

Jumat, 15 November 2019 07:25 WIB
Prof. Tjipta Lesmana
Prof. Tjipta Lesmana

RM.id  Rakyat Merdeka - Kasus pembelian heli-supermewah AW-101 sudah sekian lama “menghilang” dari peredaran. Publik pun pesimistis kalau kasus ini bisa diungkap tuntas oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Bak halilintar di siang hari bolong, Menko Polhukam Mahfud MD, tiba-tiba memecah kesunyian yang penuh misterius itu, ketika empat hari yang lalu mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu melansir pernyataan Presiden Jokowi kepada Mahfud ke publik. Apa itu?

Tidak lama setelah dilantik sebagai Menko Polhukam, Mahfud rupanya diberikan briefing oleh RI-1, terutama soal KPK. Maklum, ketika itu masalah UU KPK yang baru sedang mendapat sorotan publik ramai, bahkan disambut dengan aksi-aksi unjuk rasa panas dan cenderung anarkis.

Presiden Jokowi, sebagaimana dilansir oleh Menko Polhukam, menaruh perhatian lebih pada kasus korupsi yang sampai saat ini tak kunjung selesai. “Presiden menyebut beberapa kasus yang luar biasa, saya ngelaporin sendiri,” kata presiden. “Kami sudah laporkan kasus ini (kepada KPK) tapi tidak disentuh sampai sekarang,” ujar Mahfud meniru ucapan Jokowi di Kantor Kemenko Polhukam, Senin 11 November 2019. Dua kasus yang mendapat sorotan tajam Presiden dan melaporkannya kepada KPK adalah kasus pembelian Heli AW-101 dan kasus perdagangan minyak mentah dan produk kilang di Pertamina Energy Service Pte (PES).

Baca juga : Satu KO, KPK Di-Bully

Jokowi heran sekaligus sangat kecewa kenapa sampai sekarang kedua kasus ini seolah “masih ngambang”. Sentilan Presiden kepada KPK, menurut hemat kita, sekaligus mengindikasikan kekecewaan Presiden terhadap kinerja KPK.

Sekadar mengingatkan kembali publik, terutama pembaca Rakyat Merdeka, AW-101 pesawat helikopter super-mewah produk bersama Inggris dan Italia. TNI AU beberapa waktu yang lalu ingin membeli 2 unit heli ini untuk dipakai VVIP, Presiden dan Wakil Presiden. Pertimbangannya, helikopter yang ditumpangi Presiden selama ini sudah tidak memadai, terutama dari aspek keamanan; jumlahnya pun kurang. TNI-AU adalah pihak yang paling bertanggung jawab jika terjadi kecelakaan pesawat terbang yang ditumpangi VVIP, kata KSAU waktu itu. Tapi, Presiden Jokowi terkejut mendengar TNI-AU membeli AW-101 seharga Rp 740 miliar untuk VVIP, bahkan helinya sudah di landasan Halim Perdanakusuma. Secara khusus Jokowi pun menginspeksi heli tersebut.

Tanggal 10 Desember 2015 Presiden memerintahkan KSAU tidak membeli AW-101 karena harganya yang begitu mahal. Perintah Presiden kemudian dilanjutkan oleh “anjuran” Wakil Presiden dengan alasan yang tidak berbeda: Negara tidak punya anggaran untuk membeli AW-101. Namun, anjing menggonggong, kafilah berlalu. KSAU mengatakan tetap akan membeli heli itu. Alasannya, pembelian heli ini merupakan bagian dari Rencana Strategi TNI-AU II dan anggarannya sudah dialokasikan pada anggaran TNI-AU 2015. Jadi, dari semula diperuntukkan bagi transportasi VVIP, kemudian dengan cepat dialihkan sebagai bagian dari Alutsista TNI-AU.

Baca juga : Ujian Pertama Prabowo: Diplomasi Di AS

Cilangkap pun dengan cepat membentuk Tim Investigasi yang dipimpin oleh Direktur POM TNI. Tim Investasi Cilangkap bekerja super cepat karena Panglima TNI (waktu itu), Jenderal Gatot Nurmantyo, mendapat perintah langsung dari Presiden Jokowi. Bekerjasama dengan Tim Investigasi dari Markas Besar TNI, dalam tempo 4 bulan, KPK pun menetapkan 3 (tiga) orang tersangka. Mereka semua dari Markas Besar TNI Angkatan Udara: satu Marsekal Pertama, 1 Letnan Kolonel dan 1 lagi Pembantu Letnan Dua. Di kemudian hari, seorang sipil selaku Direktur Utama perusahaan yang diduga jadi agent pembelian AW-101 juga dijadilkan tersangka oleh KPK. Empat lokasi sudah digeledah petugas KPK, uang senilai Rp 130 miliar yang diduga hasil korupsi atas pembelian Perkiraan sementara ketika itu, negara dirugikan Rp 220 miliar (dari hasil mark-up?) dari pembelian 1 (satu) unit Heli AW-101 seharga Rp. 740 miliar. Lambatnya proses penyidikan KPK terhadap kasus AW-101 selalu dialamatkan kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK); bahwa BPK belum juga memberikan laporan kepada KPK berapa kerugian negara akibat pembelian AW-101. Tanpa laporan resmi BPK, KPK tidak bisa melanjutkan proses hukum kasus ini. Sebaliknya, Komisioner KPK Laode M Syarif seolah menangkis tuduhan Presiden dengan mengatakan (1) KPK sampai sekarang masih belum menerima laporan resmi BPK tentang kerugian negara akibat pembelian AW-101; (2) penanganan kasus ini memerlukan kerjasama dengan Polisi Militer TNI. Secara implisit Laode ingin berkilah bahwa KPK sejauh ini kurang mendapat dukungan POM TNI untuk membongkar kasus ini.

Kalau memang demikian, Panglima TNI Marsekal TNI Hadi Tjahjanto perlu segera dimintakan klarifikasi. Presiden Jokowi, minimal Menko Polhukam Mahfud, perlu memanggil Panglima TNI, minta kejelasan sampai di mana proses hukum kasus AW-101. Tapi jangan lupa ketika masih menjabat KSAU, Marsekal Hadi Tjahjanto pada 18 Februari 2017 pernah mengatakan kepada pers bahwa “Pengadaan helikopter Agusta Westland 101 sudah sesuai dengan prosedur. Alasannya, KSAU (sebelum Pak Hadi) sudah kirim surat ke Kementerian Pertahanan untuk [di-] proses sampai kontrak. Jadi, semuanya sudah dipenuhi administrasinya, ucap Pak Hadi selaku KSAU.

Demi kepentingan semua pihak, demi menghindari semakin ruwetnya permasalahan dan terhindarnya teori kambing hitam-KPK menuding BPK bekerja lelet, KPK menuding TNI tidak kooperatif, Presiden menuding KPK tidak serius menangani perkara besar dan Mahfud selaku Menko Polhukam yang secara tidak langsung mendapat tugas langsung dari Presiden, bertindaklah cepat. Jangan sampai setelah dibisiki Jokowi, Mahfud pun MANDEK, alias seperti terhalang untuk mengambil tindakan.

Baca juga : Jokowi Membuat Terobosan Dalam Kabinet Baru

Kalau demikian, eksistensi dan efektivitas kerja KPK patut dipertanyakan: Apakah KPK mendapat intervernsi dari “kekuatan monster” tertentu sehingga permintaan Presiden RI [untuk menuntaskan kasus AW-101] pun tidak mampu dijalankan? Atau KPK memang makin melemah kinerjanya, atau karena kurang gigi untuk menghantam pihak-pihak tertentu yang mencoba menghambat Kerjanya?

Pertanyaan terakhir: Apakah Prof. Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Polhukam mampu membuka “kotak pandora” kasus AW-101 yang penuh misteri ini? ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.