Dark/Light Mode

Pengamat: Politik Identitas Sudah Tak Relevan Di Pilpres 2024

Kamis, 16 Juni 2022 16:17 WIB
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib (Foto: Istimewa)
Pengamat terorisme dari Universitas Indonesia Ridlwan Habib (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Kontestasi Pemilu 2024 sudah terasa dari tingkat elite hingga masyarakat. Arus dukungan, afiliasi, dan deklarasi bermunculan di mana-mana. Permainan simbolisasi dan politisasi agama dalam ranah politik juga mulai terasa. Namun, permainan simbol itu diyakini tidak akan lagi mempan dalam mempengaruhi masyarakat.

“Sudah tidak relevan (politik identitas) untuk Pilpres 2024 nanti. Karena masyarakat sudah makin cerdas, literasi masyarakat tentang hoaks, berita palsu, berita bohong, itu sudah makin pintar. Mungkin di 2014, 2019 berita hoaks masih bisa dan banyak beredar di WA Group, tapi di 2024 saya tidak yakin,” ujar pengamat terorisme dari Universitas Indonesia, Ridlwan Habib, di Jakarta, Rabu (15/6).

Ia melanjutkan, hal ini juga terkait faktor banyaknya generasi Z atau milenial yang sudah melek digital dan unggul dalam literasi. Generasi ini sudah memahami mana berita palsu, hoaks, dan bohong. Dengan demikian, narasi politik identitas yang negatif sudah harus ditinggalkan.

Baca juga : Di Rakernas, Surya Paloh Bebaskan Kader NasDem Pilih Capres Di 2024

Ia mengakui, berpolitik identitas itu boleh-boleh saja. Misalnya, kampanye dengan menggunakan jargon agama. Yang tidak boleh adalah menggunakan politik identitas untuk menyalahkan pihak lain di luar kelompoknya, apalagi mengkampanyekan khilafah. Termasuk mengkampanyekan atau mempromosikan bahwa Indonesia harus menganut hukum agama tertentu. Hal Itu menyalahi konsensus nasional yang telah disepakati para founding fathers bangsa.

“Jadi, politik identitas itu boleh saja asal yang positif, yang tidak bertentangan dengan agama, yang bertujuan memajukan bangsa, dan tidak mengganggu orang lain. Itu positif. Jadi politik identitas jangan selalu dipahami negatif,” katanya.

Dirinya juga menyebut, dalam perjalanan demokrasi di Indonesia, sering ditemui oknum dengan kepentingan yang memanfaatkan isu sentimen agama yang justru menimbulkan reaksi balik dari segolongan masyarakat. Akibatnya, kerukunan, persatuan, kemajemukan, tenggang rasa bangsa tercederai oleh narasi keagamaan yang dipaksakan dalam politik.

Baca juga : Pengamat: Koalisi Semut Merah Bisa Layu Sebelum Berkembang

“Indonesia menganut kebebasan demokrasi, tiap orang boleh berekspresi itu wajib dijaga. Akan tetapi, kebebasan berekspresi itu tidak boleh melanggar kebebasan orang lain. Termasuk dalam hal berpolitik itu tadi,” tutur Ridlwan.

Dia melanjutkan, iklim demokrasi yang dirusak dengan pertarungan sentimen agama justru akan semakin melanggengkan jalan bagi kelompok radikal guna mewujudkan visi misinya guna mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi atau sistem yang mereka percayai. “Kalau negara ini chaos, mereka akan bilang ‘inilah bukti Pancasila gagal dan tidak relevan lagi bagi bangsa Indonesia, maka gantilah dengan sistem khilafah.’ Tentunya hal itu yang menjadi tujuan mereka,” jelasnya.

Tidak hanya itu, kondisi adu domba dan polarisasi juga dikhawatirkan membangkitkan gerakan-gerakan radikal menjelang 2024. Mereka memang tidak akan menggunakan cara keras, karena takut membuat masyarakat akan antipati. "Mereka mengubah startegi menjadi strategi soft,” terang Ridlwan.

Baca juga : Moeldoko Bisa Jadi Kuda Hitam Di Pilpres 2024

Strategi soft atau halus yang dimaksud yaitu dengan cara konvoi, membagikan selebaran, membuat acara menarik yang tidak menakutkan, tetapi tetap dengan tujuan yang sebenarnya yaitu untuk mengganti ideologi bangsa.

Ridlwan mewanti-wanti masyarakat, khususnya aktor politik nasional, untuk tidak mudah terpancing dengan narasi negatif yang diumpankan sebagian oknum berkepentingan. Termasuk narasi khilafah yang dewasa ini ramai diperbincangkan. Mereka juga harus bijaksana dalam membalas isu dan narasi yang dikeluarkan kelompok radikal.

Ridlwan juga berharap, para aktor politik dan para pendukungnya mampu mengubah cara kompetisinya dengan mengesampingkan politik identitas yang negatif dan mulai mengedepankan kualitas program, prestasi dan visi misinya untuk kemajuan Indonesia. “Kalau mau makin baik, bicaralah tentang program, tentang prestasi. Jangan melulu tentang isu agama. Ayo kita kembali bermain fair, tinggalkan narasi politik identitas negatif kepada program dan prestasi,” kata Ridlwan mengakhiri.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.