Dark/Light Mode

Wamenkes: Komplikasi Diabetes Bisa Diramal Dengan Kedokteran Presisi

Sabtu, 22 Oktober 2022 15:17 WIB
Wamenkes Dante Saksono Harbuwono dalam Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Aula IMERI FKUI, Kampus Salemba Jakarta, Sabtu (22/10). (Foto: YouTube)
Wamenkes Dante Saksono Harbuwono dalam Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Aula IMERI FKUI, Kampus Salemba Jakarta, Sabtu (22/10). (Foto: YouTube)

RM.id  Rakyat Merdeka - Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono mengingatkan, penyakit diabetes mellitus atau kencing manis semakin menghantui Indonesia.

Berdasarkan data tahun 2021, jumlah penduduk Indonesia yang menderita diabetes mellitus mencapai 19,5 juta jiwa. Menempati peringkat lima dunia. Tahun 2045, angkanya diprediksi menembus 28,6 juta.

Sebanyak 8,5 persen populasi, dilaporkan memiliki diabetes dengan tren yang terus meningkat. Sementara 30 persen pasien yang tidak mencapai target pengobatan, berpotensi mengalami komplikasi.

“Sejauh ini, komplikasi terus berjalan, walau pasien itu diobati dengan obat-obat yang sudah spesifik. Sudah terkontrol gula darahnya. Kita tidak bisa memprediksi, pasien ini akan masuk ke komplikasi mana,” ujar Wamenkes, dalam Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia di Aula IMERI FKUI, Kampus Salemba Jakarta, Sabtu (22/10).

Baca juga : Investasi Pusat Data Indonesia Buka Ribuan Lapangan Kerja Baru

Menurutnya, cakupan diabetes terkontrol di Indonesia, hanya berjumlah 30 persen. Sebanyak 70 persen sisanya, walaupun obatnya macam-macam, berstatus tidak terkontrol.

"Karena kita tidak melihat respon obat terhadap orang per orang, maka berkembanglah ilmu kedokteran presisi (precision medicine)," ujar Dante.

Dalam kedokteran presisi, layanan diberikan secara spesifik kepada masing-masing pasien berdasarkan karakteristik yang dimiliki. Meliputi karakteristik gen, keluhan yang dialami pasien  kondisi atau penyakit penyerta, sifat dan kebiasaan, serta pengaruh lingkungan sekitar.

Terkait hal ini, ada empat tahapan yang diharus dilalui, untuk mendapatkan terapi yang efektif. Pertama, identifikasi faktor risiko spesifik yang meliputi genetika, klinis, faktor risiko, serta perilaku atau lingkungan.

Baca juga : Wujudkan Resolusi Jihad Fii Sabilillah Dengan Sebarkan Moderasi Beragama

Kedua, asimilasi data secara digital (rekam medis secara elektronik). Ketiga, pemanfaatan artificial intelligence (AI) dalam pengobatan algoritma pengobatan spesifik individu.

Keempat, layanan kedokteran optimal dan tepat sasaran yang meliputi pencegahan, diagnosis, dan terapi.

“Dengan pola genetika yang terjaring dalam kedokteran presisi, sekuensi genetika dapat menunjukkan, bahwa orang dengan diabetes A dapat mengalami penyakit jantung. Diabetes B akan jadi sakit ginjal. C akan stroke dan seterusnya. Karena itu, precision medicine adalah hal yang harus dilakukan," papar Dante.

Mantan anggota Tim Dokter Kepresidenan ini menyebut, kedokteran presisi dimulai pada tahun 2015, ketika Presiden Amerika Serikat Barack Obama memberlakukan program Live for Us, dengan memetakan 1 juta orang Amerika secara genetik, ditambah informasi klinis.

Baca juga : Kemenkes Bantah Edarkan Daftar 15 Obat Sirup Dengan Senyawa Berbahaya

Dengan bantuan AI, proyek tersebut diharapkan kelar pada 2025.

"Ketika proyek ini selesai, kita bisa memetakan hasilnya. Akan terlihat, bahwa penyakit A akan respon dengan obat A secara tepat dan efektif secara biaya. Komplikasi selanjutnya pun bisa diprediksi," pungkas pria kelahiran Temanggung, 23 Maret 1973 ini. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.