Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
Jelang Muktamar Ke-48
Muhammadiyah Putuskan Jaga Jarak Politik Praktis
Rabu, 9 November 2022 07:40 WIB

RM.id Rakyat Merdeka - Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nasir memastikan, organisasi yang dipimpinnya akan menjaga jarak dengan politik praktis di Pemilu 2024. Keputusan yang juga dipilih Nahdlatul Ulama ini dianggap efektif menjaga objektifitas dalam bersikap.
“Muhammadiyah mengambil jarak itu, sehingga objektif membawa isu-isu yang bersifat kolektif,” ujar Haedar, di acara Press Gathering jelang Muktamar 48 Muhammadiyah, Senin (7/11) malam.
Berita Terkait : Yandri Susanto: Muhammadiyah Punya Andil Rawat Indonesia
Diungkapkan, dalam Muktamar nanti akan dibahas 19 isu strategis keumatan, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Di antaranya, tentang suksesi kepemimpinan 2024. Intinya, Muhammadiyah ingin pesta demokrasi melahirkan negarawan melalui kompetisi damai.
Ditegaskan, Muhammadiyah bagian dari elemen bangsa tidak mau terjadi kembali polarisasi politik hanya karena pesta demokrasi lima tahunan. Salah satu mencegah perpecahan itu adalah dengan terus membangun narasi soal pentingnya merayakan kebhinekaan. Namun, narasi kebhinekaan ini dalam implemetasinya tidak menekankan pentingnya merayakan persatuan.
Berita Terkait : Waketum DMI Komjen Syafruddin: Jaga Masjid Dari Praktik Politik Praktis
Padahal, kata dia, kebhinekaan dan persatuan itu ibarat dua sisi mata uang yang saling tarik menarik. Indonesia, tidak hanya memerlukan ruang untuk keberagaman. Melainkan juga membutuhkan komitmen untuk tetap bersatu.
“Kita ingin lahirnya siapa pun yang diusung partai mana pun, baik di partai politik atau kekuatan-kekuatan masyarakat yang menyangga kontestasi, baik relawan atau apa pun, baik di Pemilu eksekutif maupun legislatif, betul-betul menjadi negarawan,” tegasnya.
Berita Terkait : Gandeng 7 Bank, Bukit Podomoro Mudahkan Masyarakat Beli Rumah
Ihwal ini, Muhammadiyah menegaskan, perdebatan mengenai hal-hal yang berpotensi membelah masyarakat harus dihindari. Menurutnya, dimensi identitas yang kerap disebut politik identitas sebagai media untuk perpecahan bukan hanya agama. Termasuk, kesukuan, golongan, dan ideologi. Semuanya itu, diharapkan tidak dipolitisasi kembali. ■
Tags :
Berita Lainnya