Dark/Light Mode

MAHUPIKI Sosialisasi di Ternate, Tegaskan KUHP Nasional Sesuai Jati Diri Bangsa

Senin, 30 Januari 2023 15:26 WIB
Sosialisasi KUHP Nasional yang dilakukan MAHUPIKI, di Ternate, Senin (30/1). (Foto: Istimewa)
Sosialisasi KUHP Nasional yang dilakukan MAHUPIKI, di Ternate, Senin (30/1). (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang saat ini masih berlaku di Indonesia merupakan KUHP lama atau Wetboek van Strafrecht (WvS) dari Belanda, yang sejatinya mengadopsi hukum dari Perancis. Keinginan untuk mengubah KUHP sudah dilakukan sejak 1958. Selama 7 Presiden dan 7 Pemerintahan adalah masa perjuangan untuk membuat KUHP nasional milik bangsa Indonesia sendiri.

Hal tersebut dijelaskannya Plt Dirjen Peraturan Perundang-Undangan Kemenkumham, Dhahana Putra, dalam acara sosialisasi KUHP baru yang diselenggarakan Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), di Ternate, Maluku Utara, Senin (30/1).

Menurutnya, terdapat lima misi dari KUHP baru. Pertama, rekodifikasi terbuka dan juga masih mengakui terkait undang-undang yang lain yang diatur terkait ketentuan pidana. Kedua, harmonisasi.

Baca juga : Pengalaman Jepang (2)

“Ini pun juga cukup menarik pada saat Indonesia memiliki komitmen terkait hak asasi manusia,” ungkap Dhahana.

Ketiga, modernisasi. Keempat, aktualisasi yang sesuai dengan kekinian, khususnya terkait living law. Kelima, demokratisasi sebagai hal yang sangat penting untuk keseimbangan antara moralitas individual, sosial.

Dalam kesempatan yang sama, pakar hukum pidana Universtas Gadjah Mada (UGM), Prof Marcus Priyo Gunarto menyampaikan, dalam KUHP Nasional mengalami perubahan. “Kalau kita lihat dari sisi kebaruan, banyak catatan yang bisa disampaikan yang kemudian membedakan antara KUHP nasional kita ini dengan WvS,” ujar Prof Marcus.

Baca juga : Pengalaman Jepang (1)

Pertama, soal pengakuan hukum adat, yang delik adat atau hukum pidana adat itu sebetulnya merupakan ciri khas hukum pidana bangsa Indonesia. Meskipun hukum adat berbeda-beda, tetapi Indonesia tetap satu. Maka, perbedaan dari daerah satu dengan daerah yang lain itu harus diakui. Pilihannya adalah, delik adat harus masuk dalam sistem hukum pidana nasional.

“Delik adat kita integrasikan di dalam sistem hukum nasional. Tapi, kemudian itu harus dituangkan di dalam Peraturan Daerah. Karena yang namanya delik adat itu hanya berlaku bagi daerah tertentu,” tutur Prof Marcus.

Sementara itu, Ketua Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FH UI) Surastini Fitriasih memaparkan beberapa keunggulan KUHP Nasional. Pertama, KUHP Baru ini bertitik tolak dari asas keseimbangan. Kedua, merupakan rekodifikasi hukum pidana yang terbuka dan terbatas, memuat berbagai inovasi terkait dengan pidana dan pemidanaan. Ketiga, pertanggungjawaban pidana korporasi. Keempat, mengatur tanggung jawab mutlak dari strict liability dan vicarious ability atau pertanggungjawaban pidana pengganti.

Baca juga : Pengalaman China (3)

“Kita lihat ya, azas-azas keseimbangan ini sebetulnya tercermin dalam 3 permasalahan pokok hukum pidana yaitu tentang tindak pidananya, kemudian kesalahan dan pertanggungjawaban pidana serta pidana dan pemidanaannya,” kata Surastini.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.