Dark/Light Mode

Moderasi Beragama Penyelamat Generasi Muda dalam Hadapi Polarisasi

Jumat, 8 September 2023 00:50 WIB
Co-founder Peace Generation Irfan Amalee (Foto: Istimewa)
Co-founder Peace Generation Irfan Amalee (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Narasi dan argumentasi yang membawa pengaruh ideologi transnasional sering dihembuskan para kelompok intoleran dan radikal di ruang publik. Sebagai penanggulangannya, kelompok agamis yang moderat harus memberikan kontra narasi yang menyasar semua kalangan, khususnya para generasi muda. 

Co-founder Peace Generation Irfan Amalee menjelaskan, frekuensi partisipasi anak muda harus lebih sering. Algoritma yang bekerja di pencarian dalam internet akan selalu memprioritaskan sesuatu yang banyak dan sering diterbitkan. 

“Jumlah konten kontra narasi itu harus jauh lebih banyak. Ibarat air dalam suatu wadah, jika ia dimasukkan setitik zat pewarna, maka untuk membersihkannya perlu air jernih yang lebih banyak sehingga air dalam wadah tersebut bisa lebih jernih,” ucap Irfan, di Jakarta, Rabu (6//9).

Irfan mengungkapkan, generasi muda Indonesia sering dihadapkan pada perdebatan yang tidak produktif di dunia maya. Contohnya, benar atau salah, halal atau haram, Pancasila atau khilafah, dan lain sebagainya. Seolah tidak pernah menyerah, kaum intoleran dan radikal terus menggambarkan Pancasila sebagai suatu kemunduran dan khilafah adalah solusinya.

Baca juga : Harpelnas 2023, BPJS Ketenagakerjaan Pastikan Kemudahan Layanan Jadi Prioritas

“Sebenarnya, narasi tentang khilafah itu adalah sebuah narasi internasional. Yang mereka address sebetulnya hampir semua sistem di dunia, hanya saja kalau di Indonesia, Pancasila lah yang digoyangnya,” ujar Irfan. 

Menurutnya, pembenaran terhadap ideologi transnasional biasanya dilakukan dengan memunculkan narasi historis. Sebagai contoh, masa Kekhalifahan Usmani sering diagung-agungkan sebagai contoh sistem khilafah yang bisa membawa rakyat pada kemakmuran. Nyatanya, jauh panggang dari api.

“Untuk melawan pengusung khilafah yang biasanya menonjolkan narasi historisnya, kita bisa membawa contoh kekhalifahan pada masanya Khulafaur Rasyidin. Apakah Khulafaur Rasyidin, yang dianggap sebagai kekhilafahan yang terbaik dan masih di bawah bimbingan Rasulullah dan para sahabat terdekat, itu menggunakan sistem khilafah yang sama dengan yang digaungkan kelompok intoleran? Tentu saja berbeda,” jelas Irfan. 

CEO Mizan Application Publisher ini pun menambahkan, jika dimenyelisik narasi teologis, masyarakat bisa minta ditunjukkan tentang ayat-ayat yang mengarahkan manusia menerapkan sistem khilafah. Padahal, di dalam Al-Qur'an telah dijelaskan, ‘musyawarahlah dalam perkaramu.’ Ini jelas sesuai dengan sistem demokrasi yang Indonesia jalankan. 

Baca juga : Bersama Kemenko Marves, Harita Nickel Ajak Generasi Muda Peduli Mangrove

“Atau misalnya kita mau menggunakan narasi logis, dalam hal ini tentang nasionalisme, kita bisa merujuk pada ijtihad-ijtihad para ulama. Di Indonesia para ulama bisa diwakili dari Muhammadiyah dan NU. NU ulama-ulamanya sudah bersepakat dalam Muktamar ke-34, yang menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang sesuai dengan konsep Islam.” 

“Muhammadiyah pun serupa, sudah menentukan juga dalam acara Muktamar ke-47, bahwa Indonesia adalah ‘darul ahdi wa syahadah’ yang berarti ‘negara kesepakatan dan persaksian.’ Nah jadi kita ittiba saja pada narasi logisnya para ulama,” tegas Irfan. 

Menurutnya, kelompok intoleran dan radikal biasanya mengangkat narasinya dengan memanfaatkan search engine optimization, sehingga website yang mereka kelola bisa bertengger di urutan paling atas. Tetapi, dalam beberapa tahun terakhir website-website yang cenderung konservatif dan radikal itu sudah relatif kalah oleh website-website yang kelompok moderat kelola. Hal ini terjadi karena kelompok moderat sudah mulai aktif dan terasa kehadirannya di dunia maya dibandingkan sebelumnya.

Dia menganalisis, masyarakat Indonesia sudah semakin matang dalam mengenali hoaks atau berita bohong yang disebar. Namun perlu diketahui bahwa hoaks atau disinformasi adalah suatu industri yang digerakkan dengan motif ekonomi.

Baca juga : Menko PMK Apresiasi Permabudhi Fermentasi Sampah Jadi Pupuk Dan Cairan Pembersih

"Mereka tentunya tidak ingin situasi Indonesia tenang-tenang saja, karena dalam ketenangan mereka tidak bisa mendulang keuntungan. Pasti akan ada yang mencari, mendambakan, dan menunggu situasi yang tidak kondusif. Nanti tinggal dilihat saja antara kepentingan penyebaran hoaks dengan kematangan publik," tambah Irfan. 

Irfan mengatakan bahwa prinsip moderasi beragama bisa diterapkan salah satunya dengan memiliki sifat tawasuth. Tawasuth bukan berarti tidak berpendirian, tetapi bisa menjadi jembatan bagi semua pihak, baik kiri maupun kanan. Ketika ada informasi yang datang, dia lakukan cross-check. Dengan begitu, dia tetap berada di tengah dan tidak terbawa arus. Hal ini menjadi penting terutama karena sebentar lagi kita merayakan pemilihan umum yang rentan dengan polarisasi dan segregasi.

“Dengan memiliki sifat tawasuth, kita bisa tetap berada di tengah bagaimana pun kerasnya polarisasi politik yang terjadi. Walaupun kita punya pilihan, tetapi kita tidak hanyut dengan pilihan kita," ucapnya.

"Jadikan event politik itu sebagai sebuah kewajiban warga negara untuk memilih, bukan untuk berdiri di satu pihak dan kemudian terjadi polarisasi yang sangat hebat. Semangat moderasi beragama bisa terus hidup jika semua bersikap tawasuth dalam berpikir dan bertindak, khususnya dalam mengonsumsi informasi yang datang padanya,” tandas Irfan.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.