Dark/Light Mode

Jalan Baru Sumpah Pemuda

Generasi Muda Garda Terdepan Lawan Hoaks dan Intoleransi

Jumat, 3 November 2023 14:04 WIB
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rully Nasrullah (Foto: Istimewa)
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rully Nasrullah (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Sebaran konten negatif yang biasanya berupa hoaks dan intoleransi sering ditemukan bertebaran di media sosial. Konten semacam ini seringkali menunggangi isu-isu populer yang sedang menyita perhatian banyak orang.

Kondisi ini menuntut generasi muda Indonesia bisa melakukan pendewasaan diri lebih cepat dibandingkan generasi terdahulu agar tidak terseret derasnya arus informasi. Generasi muda harus merealisasikan jalan baru Sumpah Pemua di abad digital sekarang ini.

Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta Rully Nasrullah menjelaskan, beberapa penelitian telah mengungkapkan bahwa penyebaran paham radikalisme hingga perekrutan terorisme telah beberapa kali terjadi di media sosial. Ketika kaum radikal melakukan profiling untuk menggaet simpatisan baru, mereka akan menunggu momen yang tepat untuk melempar sebuah isu dan dibungkus dengan kebohongan.

“Menurut saya, mudah saja kalau kita mau mencari studi tentang bagaimana agar kita bisa resisten dengan berita bohong dan intoleransi. Materi-materi tersebut saat ini sudah semakin mudah kita dapat, baik di bangku pendidikan formal maupun melalui internet,” jelas Rully di Jakarta, Jumat (3/11).

Baca juga : Ini 27 Pemain Yang Dipersiapkan Lawan Irak Dan Filipina

Menurutnya, baik Pemerintah maupun berbagai lembaga non-pemerintah, selalu menyuarakan agar masyarakat Indonesia berhati-hati dengan berita bohong. Persoalannya, penerimaan berita bohong yang sampai pada seseorang akan sangat bergantung pada orang itu sendiri. 

Pada beberapa kasus, lanjut Rully, generasi muda menjadi lebih mudah meyakini berita bohong dan intoleransi karena konten negatif itu masuk melalui lingkaran pergaulan mereka. Padahal, yang anak-anak muda persepsikan sebagai teman di media sosial dan internet, belum tentu itu adalah teman sungguhan. 

Terlebih lagi, hoaks atau berita bohong itu lebih sering menyentuh hal-hal yang sensitif, seperti isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antargolongan). Hal ini memang ditujukan karena dengan hal-hal sensitif tadi, seseorang atau suatu kelompok dari latar belakang tertentu akan lebih mudah dipancing sisi emosionalnya. 

Penulis buku berjudul Manajemen Komunikasi Digital ini menerangkan, jika sudah seperti ini, akan semakin sulit melakukan pendekatan logis untuk mendinginkan suasana. Walaupun demikian, harus ada upaya mencegah orang atau kelompok tertentu yang telah termotivasi untuk melakukan tindakan melawan hukum. Maka dari itu, tentu dapat dipahami bahwa berita bohong akan selalu memainkan isu-isu sensitif seperti SARA. 

Baca juga : Tampung Keluhan Masyarakat, Pemuda Mahasiswa Ganjar Gelar Aksi Bakti Sosial

“Kalau saya melihatnya, sejahat-jahatnya orang, kalau agamanya disinggung atau di-framing secara negatif, pasti sisi emosionalnya akan muncul. Mudahnya menelan mentah-mentah isu sensitif yang dimainkan kelompok tertentu membuat banyak orang jadi sumbu pendek atau mudah marah dan seolah merasa perlu untuk memberikan reaksi secara cepat,” ungkapnya. 

Dirinya menambahkan, sebenarnya dari sisi Pemerintah sudah banyak melancarkan upaya penangkalan penyebaran konten hoaks dan intoleransi. Di Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) telah dibentuk tim khusus untuk menyusun panduan literasi digital di sekolah, yang ditujukan untuk guru, murid, serta orang tua. Pada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) juga merancang etika bermedia sosial yang telah disosialisasikan baik secara online maupun offline

“Bahkan di banyak media massa skala nasional, mereka sudah ikut pelatihan langsung dari Google tentang bagaimana cara memverifikasi informasi yang tersebar di internet. Jadi, fact checker itu sudah dilakukan oleh banyak pihak. Tidak hanya Pemerintah, namun nyatanya banyak lembaga swasta yang juga concern dengan keabsahan informasi yang ada di ruang publik Indonesia,” tambah Rully.

Rully khawatir ketika hoaks, ujaran kebencian, dan intoleransi terhadap suatu kaum tertentu itu disebarkan dan dibungkus dengan situasi politik. Hal ini tentu bisa menjadi pembunuhan karakter figur atau tokoh tertentu yang justru memiliki kompetensi. Cara seperti ini bisa jadi upaya untuk mempengaruhi banyak orang sehingga mereka tidak bisa mengambil sikap yang dewasa dan bertanggung jawab dalam bertindak.

Baca juga : Hari Pertama Beroperasi Penuh, Bandara Kertajati Layani 7 Rute

“Generasi muda seperti Gen Z, mereka ini cenderung masih labil dalam mencari sosok yang bisa mereka jadikan panutan. Secara psikis, sebaran kebohongan dan kebencian di dunia maya tentu akan berpengaruh terhadap perkembangan mereka. Maka dari itu, solusi terbaik adalah kembali ke diri masing-masing untuk mendewasakan diri secara cepat dan memahami betul apa maksud dan tujuan mereka dalam menggunakan media sosial,” pungkas Rully.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.