Dark/Light Mode

Solusi Mengatasi Pengungsi Melalui Pendekatan Teologi dan Konstitusi

Sabtu, 30 Desember 2023 14:24 WIB
Founder Solidarity Indonesia for Refugee Ali Yusuf (Foto: Dok. Pribadi)
Founder Solidarity Indonesia for Refugee Ali Yusuf (Foto: Dok. Pribadi)

Solidarity Indonesia For Refugee (SIR) telah memprediksi bahwa di satu saat akan ada konflik sosial antara penduduk setempat dengan para pengungsi jika Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi atau Komisariat Tinggi Urusan Pengungsi PBB (United Nations High Commissioner for Refugees/UNHCR) tidak serius menangani persoalan pengungsi yang ada di Indonesia. Benar saja, pengungsi Rohingya dipindah paksa oleh ratusan mahasiswa dari Balai Meuseraya Aceh (BMA), Kamis (28/12/2023).

Di penghujung tahun 2021, prediksi ini sudah saya sampaikan kepada beberapa tokoh ormas Islam di Majelis Ulama Indonesia (MUI), bahwa akan ada gesekan antara masyarakat setempat jika masalah pengungsi tidak segera ditangani. Alhamdulillah,.tokoh ormas Islam seperti Prof Sudarnoto Hakim sebagai Ketua Komisi Hubungan Internasional MUI, KH Anwar Abas selaku Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, dan KH Jeje Zainuddin yang sekarang sebagai Ketua Umum Persatuan Islam (Persis) merespons baik. 

Sebagai responsnya, mereka telah membuat suatu pernyataan yang mengkritisi kinerja UNHCR karena dinilai tidak serius menangani pengungsi internasional yang menjadi tanggung jawabnya. Alhamdulillah, SIR berhasil menyakinkan para tokoh ormas Islam atas ketidakseriusan UNHCR menangani masalah pengungsi. Silaturahmi kepada para tokoh ormas Islam merupakan program kerja SIR selain mendorong Pemerintah Indonesia menyediakan tempat khusus untuk para pengungsi.

Komentar para tokoh itu akhirnya dimuat di beberapa media online. Belum lama ini Prof Sudarnoto masih aktif menyampaikan saran kepada Pemerintah agar bisa berkomunikasi dengan UNHCR menangani masalah pengungsi yang ditolak warga tempatan.

Saya menyesalkan atas pemindahan paksa warga internasional oleh mahasiswa. Meski demikian, saya tidak menyalahkan sepenuhnya aksi mahasiswa itu.

Karena, yang perlu disalahkan dalam persoalan pengungsi adalah UNHCR yang sudah sejak lama tidak memiliki program jelas bagaimana cara mengatasi persoalan pengungsi yang tinggal di Indonesia bertahun-tahun. UNHCR sudah mengetahui bahwa para pengungsi akan tinggal di Indonesia tanpa ada batas waktu, seharusnya punya program kerja bagaimana pengungsi bisa diterima masyarakat lokal.

Jika UNHCR memiliki program kerja mengenalkan budaya Indonesia kepada para pengungsi itu, saya yakin tidak akan ada pemindahan paksa oleh mahasiswa seperti yang terjadi di Aceh.

Baca juga : Suara Terus Meningkat, Timnas AMIN Optimistis Melaju Ke Putaran Kedua

UNHCR harus tanggung jawab atas keadaan yang terjadi sekarang ini. Jangan hanya menyampaikan penyesalan atas yang telah dilakukan sebagian dari anak-anak masyarakat Indonesia yang kini telah menjadi mahasiswa di Aceh.

Dua tahun ke belakang, aski serupa juga telah terjadi terhadap pengungsi Afganistan. Mereka sempat diusir warga setempat di daerah Makassar, Sulawesi Selatan. Warga lokal juga tidak terima kehadiran mereka dengan berbagai macam alasan.

Memang, berdasarkan prinsip hukum internasional, pengungsi atau pencari suaka tidak boleh diusir atau dikembalikan (refouler) ke negaranya jika itu membahayakan jiwanya. Namun, demi menjaga keamanan dan kedaulatan, yang dilakukan mahasiswa bisa dimaklumi, seperti pendapat Prof Hikmahanto Juwana. Sebab, pada dasarnya dalam hukum internasional tidak ada yang lebih tinggi dari kedaulatan negara. 

Indonesia merupakan negara berdaulat yang perlu dijaga keamanannya di dalam dan luar dari kepentingan asing, termasuk para pengungsi.

Masalah pengungsi di Indonesia seakan menjadi agenda musiman setiap tahun. Dua tahun ke belakang, tepatnya pada Desember 2021, saya sebagai pendiri SIR diwawancarai reporter dari sbs.com.au, jaringan radio Australia, membahas terkait masalah pengungsi dari Afganistan. Para pengungsi tersebut frustasi karena UNHCR tidak memberikan kejelasan kapan mereka diberangkatkan ke negara ketiga. Akhirnya mereka menggelar aksi turun ke jalan, jahit mulut, bahkan bunuh diri dengan cara bakar diri.

Menanti Sikap Tegas RI

Untuk mengatasi persoalan masalah pengungsi yang kian lama kian rumit, Pemerintah Indonesia perlu mengambil sikap. Menolak kedatangan pengungsi atau menerima. Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri perlu dipertimbangkan untuk direvisi, karena tidak mampu menangani masalah pengungsi. Terutama, di dalam Perpers itu tidak disebutkan sampai berapa lama para pengungsi transit di Indonesia.

Baca juga : Permintaan Jagung Manis Melonjak Jelang Pergantian Tahun

Jika menurut hukum internasional Indonesia sebagai satu negara dilarang menolak pengungsi, maka jika pertimbangannya demi kedaulatan negara maka boleh-boleh saja menolak mereka. Namun, jika tetap menerima dengan berbagai macam alasan, terimalah mereka dengan baik supaya terpenuhi hak asasinya sebagai manusia.

Siapkan lokasi yang terkonsetrasi khusus untuk tempat tinggal para pengungsi yang jauh dari pemukiman warga lokal. Hal ini demi mengurangi risiko konflik sosial antara penduduk setempat dengan para pengungsi.

Jangan pikirkan nasib mereka, karena nasibnya sudah menjadi tanggung jawabnya UNHCR. UNHCR memiliki anggaran jutaan dolar hasil sumbangan dari setiap negara untuk membantu para pengungsi. 

Sebagai negara transit bagi para pengungsi, Indonesia tinggal cukup menyediakan tempatnya saja. Sementara, semua kebutuhan hidup pengungsi menjadi urusan UNHCR. Jangan terlalu jauh mengurusi nasib pengungsi karena Indonesia belum menjadi negara yang meratifikasi Konvensi 1951 tentang Status Pengungsi dan Protokol 1967 tentang Status Pengungsi. 

2 Petimbangan Pemerintah Memberi Kewarganegaraan Para Pengungsi

Ada dua pendekatan yang bisa digunakan Pemerintah Indonesia sebagai bahan kajian yang bisa menjadi bahan pertimbangan untuk meratifikasi Konvensi 1951 tentang pengungsi. Konsekuensinya, setelah meratifikasi Konvensi itu, para pengungsi bisa menjadi warga negara Indonesia (WNI). Pertama, pendekatan teologis (religius historis), yang para Nabi juga mengungsi. Kedua, pendekatan konstitusi UUD 1945 melalui pembukannya. 

Umat Islam tahu, di antara para Nabi yang kisah pengungsianya populer di antaranya Nabi Nuh AS karena banjir bandangnya, Nabi Lut AS karena kejaran kaum Sodom, Nabi Musa AS dari kejaran Firaun, dan Nabi Muhammad SAW yang hijrah dari Makkah ke Madinah.

Baca juga : Demix Berikan Solusi Pengaplikasian Perekat Tile Big Slab di Indonesia

Ada beberapa kisah dalam Al-Quran tentang perintah mengungsi ketika tempat tinggalnya sudah tidak aman untuk mempertahankan agama, nyawa, keturunan dan harta. Bahasa yang digunakan adalah hijrah. Misalnya, dalam surat An-Nisa ayat 97.

"......Dalam keadaan bagaimana kamu ini? Mereka menjawab, adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Makkah). Para malaikat berkata, bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi itu?"

Pengungsi juga perlu diberikan bantuan. Jika mereka mengungsi untuk kepentingan agama, mereka termasuk satu dari delapan golongan penerima zakat. Hal ini sesuai dengan Al-Quran surah At-Taubah ayat 60:

"Sesungguhnya zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang miskin, amil, yang dilunakkan hatinya (mualaf), untuk (memerdekakan) hamba sahaya, untuk (membebaskan) orang yang berutang, untuk jalan Allah, dan untuk orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai kewajiban dari Allah." 

Maka, jika membaca ayat di atas  para pengungsi ini masuk yang ke delapan asnaf, yaitu orang yang sedang dalam perjalanan. Sekarang tinggal keinginan Indonesia apakah menolak atau menerima pengungsi.

AliYusuf
AliYusuf
Founder Solidarity Indonesia for Refugee (SIR)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.