Dark/Light Mode

LPSK Siap Bantu WNI Yang Jadi Budak Di Kapal China

Kamis, 7 Mei 2020 21:30 WIB
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban  (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo
Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Hasto Atmojo Suroyo

RM.id  Rakyat Merdeka - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) turut prihatin atas tragedi perbudakan modern yang dialami sejumlah anak buah kapal (ABK) asal Indonesia, di kapal penangkap ikan berbendera China, Long Xing.

Ketua LPSK Hasto Atmojo Suroyo mengatakan pihaknya akan melakukan tindakan proaktif dalam kasus ini. LPSK pun siap bekerjasama dan berkolaborasi dengan pihak Kementerian Luar Negeri serta Polri, untuk memberikan perlindungan kepada para korban. Mulai dari proses pemulangan ke Tanah Air hingga pendampingan proses hukum nantinya. 

“Sebagai langkah awal, LPSK akan turut serta menjemput sejumlah ABK yang pulang ke Indonesia, besok, Jum’at, (8/5) ke bandara” ujar Hasto, Kamis (7/5) malam. 

LPSK, lanjut Hasto, sudah beberapa kali menerima permohonan perlindungan untuk korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang peristiwanya mirip dengan kasus yang dialami 18 ABK kapal China. Salah satunya kasus perbudakan di Benjina, Maluku, pada medio 2015 lalu yang juga ditangani LPSK. Kasus ini sempat menyita perhatian publik, bahkan hingga di luar negeri. 

Baca juga : Ketua MPR Kecam Keras Pelanggaran HAM ABK WNI di Kapal China

Menurut Hasto, tragedi ini menunjukan adanya indikasi TPPO. Untuk itu, ia berharap agar kepolisian menelusuri pihak atau perusahaan yang melakukan perekrutan dan menyalurkan para ABK ke kapal China tersebut. 

"Pihak berwajib seharusnya bertindak tegas bila terbukti adanya pelanggaran pidana," cetusnya. 

Pada kesempatan yang sama, Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu menyatakan, kasus TPPO yang menyasar ABK bukan kali pertama terjadi. 

Selain kasus di Benjina, LPSK pernah beberapa kali menangani kasus TPPO yang peristiwanya mirip dengan kejadian hari ini. Antara lain kasus di Jepang, Somalia, Korea Selatan, dan Belanda.

Baca juga : Cara Merawat Motor Yang Tak Dipakai

Menurut catatan akhir tahun LPSK 2019, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO menempati posisi empat besar setelah kasus kekerasan seksual anak, terorisme, dan pelanggaran HAM berat. 

“Pada tahun 2018, permohonan perlindungan untuk kasus TPPO berjumlah 109, sedangkan di tahun 2019 naik menjadi 162 permohonan. Sedangkan ihwal jumlah terlindung, pada 2018 terdapat 186 terlindung kasus TPPO dan naik menjadi 318 terlindung di tahun 2019” tegas Edwin

Dari pengalaman LPSK menginvestigasi kasus TPPO khususnya pada sektor kelautan dan perikanan, ditemukan fakta banyaknya perlakuan tidak manusiawi yang dialami  para korban. Biasanya korban mengalami penipuan dalam proses rekrutmen, pemalsuan identitas, jam kerja yang melebihi aturan, tindakan kekerasan dan penganiayaan, penyekapan, gaji yang tidak layak, hingga ancaman pembunuhan.

“Kami pernah mendengarkan pengakuan korban yang tidak mendapatkan air minum yang layak, mereka terpaksa minum air laut yang disaring, bahkan ada yang meminum air AC” pungkas Edwin. [UMM]

Baca juga : Corona Made in China

 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.