Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Jimly Soal 1 Pasal Dicabut Di UU Ciptaker

Kesannya, Bernegara Tak Serius

Sabtu, 24 Oktober 2020 06:40 WIB
Prof Jimly Asshiddiqie. (Foto: ICMI)
Prof Jimly Asshiddiqie. (Foto: ICMI)

RM.id  Rakyat Merdeka - Polemik soal Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja (Ciptaker) belum kelar. Setelah jumlah halaman yang berubah-ubah, kini kita dibuat bingung dengan 1 pasal yang hilang. Soal ini, pemerintah dan DPR merasa tidak salah dan tidak perlu ada yang patut dicurigai. Namun, eks Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Prof Jimly Asshiddiqie heran dengan kejadian ini. Kesannya, negara tak serius.

Hilangnya 1 pasal tersebut dike­tahui setelah Setneg mengirimkan draft UU Cipta Kerja ke PP Muham­ madiyah dan MUI. Dari dokumen setebal 1.187 halaman itu, ada pasal yang hilang. Pasal yang hilang ada­ lah Pasal 46 tentang Minyak dan Gas Bumi. Empat ayat di pasal tersebut, juga lenyap.

Padahal, dalam naskah UU Cipta Kerja 812 halaman yang diserahkan DPR ke pemerintah, pasal itu masih ada. Lengkap dengan 4 ayat di dalamnya. Namun, di tangan Setneg, pasal tersebut dihapus.

Soal polemik ini, Ketua Baleg DPR, Supratman Andi Agtas, tidak membantahnya. Kata dia, Pasal 46 itu memang seharusnya dihapus. Namun karena Setneg yang menemukan, jadi pasal itu dihapus oleh Setneg.

Dia menerangkan, awalnya peme­rintah mengusulkan pengalihan kewe­nangan penetapan toll fee dari BPH Migas ke Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Namun, me­nurutnya, DPR tidak menyetujui usulan tersebut dalam pembahasan di Panitia Kerja RUU Ciptaker Baleg DPR.

Baca juga : KLHK Pastikan UU Cipta Kerja Tidak Merusak Lingkungan

“Saya pastikan setelah berkonsultasi ke semua ke kawan­-kawan, itu benar, seharusnya tidak ada, karena seha­rusnya dihapus,” kata Supratman, di Jakarta, kemarin.

Politisi Gerindra ini menegaskan, idealnya pasal tersebut sudah harus dihapus oleh DPR sebelum naskah diberikan kepada pemerintah. Namun, kekeliruan itu justru baru ditemukan oleh Kemensetneg, sehingga pasal tersebut baru dihapus.

Hal senada disampaikan Staf Khusus Presiden Bidang Hukum, Dini Purwono. “Intinya pasal 46 tersebut memang seharusnya tidak ada dalam naskah final, karena dalam rapat panja memang sudah diputuskan untuk pasal tersebut kembali ke aturan dalam undang­undang existing,” kata Dini, kemarin.

Menurut dia, boleh saja menghapus pasal setelah UU disahkan di Paripurna dan diserahkan ke Setneg. Yang tidak bo­leh, kata dia, ialah mengubah subtansi. Dini menuturkan, dalam hal ini penghapusan tersebut sifatnya administratif atau typo. Dan justru membuat substansi menjadi sesuai dengan apa yang sudah disetujui dalam rapat panja baleg DPR. “Setneg dalam hal ini justru melakukan tugasnya dengan baik,” ucapnya.

Bolehkan perubahan setelah UU di­ paripurnakan? Jimly mengatakan, per­masalahan dalam UU Cipta Kerja itu bukan soal fisik. Bukan soal berapa jum­lah halaman. Karena itu ujungnya soal huruf, ukuran kertas dan sebagainya.

Baca juga : Celaka, Kalau Rakyat Lebih Percaya Medsos

Pakar Hukum Tata Negara ini me­negaskan, dokumen UU yang dikirim DPR ke Presiden tidak boleh ada yang berubah lagi. Itu praktik yang lazim dalam pembuatan UU di mana­-mana, di seluruh negara. Setelah disahkan tidak boleh ada lagi penambahan atau pengurangan. Yang boleh dilakukan

adalah memperbaiki kesalahan klerikal (clerical error). Yaitu perbaikan berkaitan dengan ejaan, tanda baca, atau kurang huruf. Jadi, tak boleh mengurangi atau menghapus kata. Karena akan mengubah substansi. Apalagi mengurangi atau menambahkan pasal.

“Inilah (yang terjadi) kalau undang­ undangnya terlalu tebal. Terlalu ambisius. Menunjukkan tidak serius bernegara,” kata Jimly, kepada Rakyat Merdeka, kemarin.

Menurut dia, sangat tidak realistis menentukan proses pembuatan un­dang-­undang ini dalam 100 hari. Dia lalu mengutip pernyataan Pakar Hukum Tata Negara UGM, Prof Zainal Arifin Mochtar yang menyebut pembentukan undang­-undang ini ugal­ugalan.

Kata dia, kalau dalam rapat RT/ RW atau arisan keluarga, dibolehkan melakukan cara seperti itu. Disepakati dulu materinya lalu nanti ditulis hasilnya belakangan.

Baca juga : Dewan Pakar Nasdem Kasih Masukan Positif

“Tapi, kalau dalam bernegara, apa­ lagi di negara republik terbesar ketiga di dunia, tidak boleh terjadi hal seperti ini. Ini soal serius,” tegasnya.

Kalau memang ada masalah, lanjut dia, cara mengujinya ada di MK. Ia menerangkan, ada ada dua gugatan yang bisa diajukan ke MK. Pertama, gugatan menyangkut soal substansi materi melalui judicial review. Proses uji materi ini biasanya memerlukan waktu yang lama. Apalagi ada seribu pasal lebih dari 97 undang­-undang.

Kedua, adalah pengujian formil. Yang diuji apakah proses pembuatan undang­undang itu sudah sesuai konstitusi atau tidak.

Senator asal DKI Jakarta itu me­ngatakan, kalau ternyata terbukti dalam proses pembentukan UU itu tidak konstitusional, misalnya, ada pengubahan setelah diputuskan atau ada pasal selundupan, maka seluruh undang­-undang itu dibatalkan. “Silakan nanti dibuktikan di MK,” ungkapnya.

Jika diputuskan begitu, kata Jimly, pemerintah jangan langsung mutung. Hakim hanya memutuskan proses pembentukannya yang tidak benar. Silakan diperbaiki. Kalau perlu bulan depan diajukan lagi lalu dibahas ulang. Tidak perlu semuanya dibahas karena bisa di­-carry over dan disahkan deng­an jalan yang benar. “Inilah fungsi MK. Mengendalikan, dan mengawal proses demokrasi,” ungkapnya. [BCG]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.