Dark/Light Mode

Pakar Keamanan Siber Dukung Presiden Dan DPR Revisi Pasal Karet UU ITE

Rabu, 17 Februari 2021 13:03 WIB
Pakar keamanan siber dari CISSReC Pratama Persadha. (ist)
Pakar keamanan siber dari CISSReC Pratama Persadha. (ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Niat Presiden Joko Widodo merevisi pasal karet dalam Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), mendapat dukungan dari DPR dan berbagai kalangan. Kali ini, Pakar keamanan siber dari CISSReC Pratama Persadha juga sepakat dengan keinginan presiden.

Menurutnya, UU Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sebagaimana telah diubah dengan UU No. 19/2016 ini memang perlu direvisi.

"Pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah cukup untuk urusan pencemaran nama baik," kata Dr. Pratama Persadha yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi CISSReC melalui percakapan WhatsApp kepada RM.id, Rabu (17/2/2021).

Sebelumnya, UU ITE ini pernah direvisi pada tahun 2016. Pada saat itu, kata Pratama, Menteri Komunikasi dan Informatika pada Kabinet Kerja (2014—2019) Rudiantara didesak untuk ubah ancaman pidana dari 6 tahun menjadi di bawah 5 tahun.

Baca juga : Revisi Pasal Karet UU ITE, Ini Saran Jimly

Revisi undang-undang tersebut, menurut dosen pascasarjana pada Sekolah Tinggi Intelijen Negara (STIN) ini, terkait dengan adanya aturan kehilangan hak politik bagi seseorang yang mendapatkan pidana di atas 5 tahun.

Belakangan ini, lanjut dia, UU ITE makin mendapat sorotan masyarakat karena adanya saling lapor dari beberapa individu dan kelompok masyarakat menggunakan undang-undang ini, terutama Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28.

Beberapa parpol mendesak agar pasal karet dalam UU ITE dihapus. Bahkan, Presiden Jokowi sudah bersuara agar DPR segera merevisi pasal karet tersebut.

"Undang-undang ITE ini memang sudah banyak dikeluhkan, terutama akhir-akhir ini digunakan untuk pelaporan banyak pihak," kata Pratama yang juga dosen Etnografi Dunia Maya pada Program Studi S-2 Antropologi Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta.

Baca juga : Muhammadiyah Dukung Keinginan Jokowi Revisi UU ITE

Hal itu, kata Pratama, membuat kepolisian mendapatkan tekanan dari masyarakat. Masalahnya, masing-masing pihak ingin laporannya segera ditindaklanjuti.

Pratama mencontohkan sejumlah kasus hoaks, penyebar informasi bohong saja yang ditangkap, padahal mereka ini juga korban karena terhasut dan tidak tahu konten yang di-posting adalah hoaks.

Oleh karena itu, dia memandang perlu merevisi UU ITE agar kelak mampu mendorong aparat untuk mengusut dan menangkap aktor intelektual. Di dalam sebuah konten hoaks, lanjut dia, memang ada tersangka yang menyebarkan informasi bohong itu.

Namun, ini sebenarnya mudah saja dibuktikan bahwa mereka ini bertindak sebagai korban, bukan bagian dari tim produksi dan penyebar.

Baca juga : Kemnaker Gelar Pelatihan Hiperkes Dan Keselamatan Kerja

"Apalagi, edukasi antihoaks di tengah masyarakat ini hampir tidak ada. Jadi, masyarakat ini kesannya diancam tetapi tidak diberikan bekal," katanya.

Namun, bukan berarti Pasal 27 Ayat (3) dan Pasal 28, misalnya dihapus atau direvisi, lalu hoaks bisa bebas tanpa hukuman.

Menurut dia, ada pasal lain tentang pencemaran nama baik dan penghasutan di dalam KUHP yang bisa digunakan. Meski tindakannya sama, bedanya pelanggaran pasal UU ITE tersebut dilakukan di wilayah siber. [JAR]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.