Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU
Ogiandhafiz Juanda, SH, LLM, CLA
Jangan Cuma Revisi UU KPK, Akar Korupsi Juga Kudu Dicari
Sabtu, 27 Maret 2021 20:01 WIB
Sebelumnya
Korupsi perlu diamini sebagai penyakit kanker yang ganas (the cancer of corruption, Wolfensohn, 1996) dan merupakan satu kejahatan serius yang sifatnya super mala per se, yaitu perbuatan yang sangat jahat dan tercela.
Sebagai satu kejahatan yang serius, hukuman yang berat harus diberikan kepada pelaku tindak pidana korupsi. Karena tujuan pemberian hukuman berat tersebut adalah untuk menciptakan efek jera. Agar cita-cita pencegahan korupsi juga dapat tercapai.
Pemberian hukuman berat terhadap pelaku korupsi tersebut juga tidak boleh terhenti hanya pada aspek pidananya, tetapi juga harus terhadap aspek ekonominya.
Baca juga : Orang Kaya Jadi Menteri, Jangan Cuma Perkaya Diri Ya
Masih banyaknya kasus korupsi hingga hari ini yang melibatkan pejabat negara di setiap jenjang kekuasaan, seharusnya menyadarkan kita bahwa pendekatan pemberian hukuman berat hingga hukuman mati, yang juga disertai upaya “pemiskinan” melalui perampasan aset kepada pelaku korupsi merupakan pilihan pendekatan yang tepat.
Seharusnya, bisa segera dimaksimalkan sebagai pilihan utama (primum remedium). Meskipun bukan solusi tunggal, “reformulasi” sanksi pidana yang seperti itu merupakan hal yang krusial dalam upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Kalau kita lihat putusan terhadap kasus tindak pidana korupsi, rata-rata vonis pengadilan dalam perkara korupsi hanya memberikan hukuman pidana penjara 2 sampai 3 tahun saja (data ICW).
Baca juga : Menpora Sandang Status Tersangka Sebelum Revisi UU KPK Diketok
Tren penjatuhan hukuman ringan terhadap pelaku korupsi tersebut seharusnya ditinggalkan, karena hal itu sama sekali tidak memberikan efek jera. Juga tidak mencerminkan semangat pemberantasan korupsi. Sehingga, sanksi pidana yang diharapkan mampu menjadi instrumen untuk mencapai tujuan pencegahan dan menciptakan kesadaran hukum, pada akhirnya juga tidak tercapai. Apalagi, ditambah dengan adanya “eksklusivitas” lapas bagi terpidana korupsi.
Dalam kacamata lain, hal ini dapat dimaknai sebagai bentuk “penyalahgunaan” terhadap lemahnya sanksi pidana oleh pelaku tindak pidana korupsi. Ini menjadi salah satu bagian dari akar masalah: mengapa tindak pidana korupsi masih terus terjadi di Indonesia.
Pada akhirnya, integritas, komitmen dan semangat anti korupsi dari seluruh pihak termasuk aparat penegak hukum menjadi bagian lain yang sama pentingnya.
Selanjutnya
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya