Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Dilema Kota (Yang) Membentuk Manusia

Sabtu, 3 April 2021 15:37 WIB
Dr Tantan Hermansah, pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Anggota Komisi Infokom MUI Pusat.
Dr Tantan Hermansah, pengampu MK Sosiologi Perkotaan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, dan Anggota Komisi Infokom MUI Pusat.

 Sebelumnya 
Di masa sekarang, kota seperti mahluk hidup yang memiliki jalan dan sistemnya sendiri dalam mengembangkan diri atau memperbaharui dirinya. Kota-kota modern menginspirasi orang-orang di dalamnya untuk mencurahkan segala sumberdaya yang dimiliki oleh manusia, untuk terus menerus berinovasi, mencari yang baru untuk menuju suatu kota yang ideal dan (mendekati) sempurna. Agensi-agensi kota ini kemudian seperti nyawa bagi keberlanjutan budaya kota.

Ketika kota semakin “bernyawa”, maka ia bisa menentukan jalannya sendiri. Secara alamiah, terlihat bagaimana kota membersihkan daki-daki yang menempel di tubuhnya dengan cara memindahkannya ke pinggiran. Coba saja lihat, bagaimana penduduk asli pada sebuah kawasan yang menjadi kota, akhirnya banyak yang “tergeser” ke pinggiran, bahkan semakin minggir dan menjauh.

Sementara, mereka yang mampu menjadi bagian dari sistem hidup kota, justru mendapatkan beragam kemewahan. Bahkan tiap hari bagi mereka adalah perayaan atas satu kata yang tetap membius sampai hari ini: kesuksesan.

Baca juga : Elang Jawa Rombak Pasukan

Disadari atau tidak, kota per hari ini adalah aktor utama yang membentuk manusia. Bahkan visi kota tidak jarang diletakkan untuk kemakmuran dan kesejahteraan kota, bukan manusianya. Berbagai rehabilitasi dan perluasan sarana maupuan visi lain seperti peningkatan kualitas pendidikan, ruang ekspresi seni budaya, bahkan sekadar tempat nongkrong dan melepas lelah, ditahbiskan untuk meningkatkan sistem kota itu sendiri.

Posisi manusia kemudian seperti menjadi obyek dari kota. Di mana mereka harus menyesuaikan dengan sistem kota tersebut. Contoh, ketika Anda datang ke sebuah tempat makan modern, biasanya Anda harus mengantri, membayar dan menunggu disuguhkan makanan yang dipesannya.

Berbeda dengan warung makan zaman lama seperti di Warung Padang, misalnya. Anda pesan terlebih dahulu, kemudian menikmati makanan yang dipesan, dan baru membayar ketika selesai menikmati hidangan.

Baca juga : Komentari Meghan Markle

Kedua sistem tersebut seperti tidak bisa ditawar. Baku dan “tidak bersabahat”. Begitu juga dengan sistem kota lainnya, seperti bepergian menggunakan pesawat atau kereta, dan moda lain dengan sistemnya sendiri.

Dalam perspektif sosiologi, model memaksa struktur kota tersebut dikarenakan kota hadir lebih dahulu dari manusia. Kota telah lama berkolaborasi dengan masyarakat dengan segala sistem dan tata aturannya. Bahkan kolaborasi kota dengan masyarakat telah menjadi nilai tersendiri yang dipelihara karena dianggap akan memberi kepastian kepada keberlangsungan peradaban manusia yang hidup dalam sistem kota tersebut.

Hukum-hukum struktural yang mengikat dalam kota karena kehadirannya yang sudah lama, sehingga kota belajar pada kesalahan-kesalahan sebelumnya. Sehingga paksaan yang dirasakan masyarakat yang baru lahir, sejatinya karena mereka tidak mengetahui bagaimana kota itu tumbuh, bertahan, dan bertahan di tengah dinamika kehidupan manusia itu sendiri.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.