Dark/Light Mode
RM.id Rakyat Merdeka - Seru, ramai, lucu kadang dicampur menegangkan, itulah yang saya rasakan ketika mendengarkan perdebatan di pos security di perumahan saya. Seru, ramai dan lucunya perdebatan yang terjadi, kadang melebihi acara diskusi politik yang biasa disiarkan setiap selasa malam di sebuah stasiun televisi berita.
Topik perdebatan yang tersaji di pos kecil itu pun beragam. Tak melulu soal politik. Anehnya meski topiknya beragam, aktor yang berdebatnya tetap kedua orang tetangga saya. Jadi bintang perdebatannya tetap empat L. Lo lagi, lo lagi.
Baca juga : Kabupaten Serang Bentuk Kecamatan Layak Anak
Setelah lama mudik, saya bertemu lagi dengan kedua aktor ini di pos security. Bermodal kudapan kecil dan kopi khas Sumatera oleh-oleh dari kampung halaman, malam minggu pekan lalu kami kongkow di pos. Awalnya menceritakan keseruan pengalaman mudik masing-masing. Yang tidak mudik asyik saja menikmati alur cerita. Belakangan obrolan mengerucut masuk sampai ke ranah pilpres.
Tetangga saya yang dikenal paling semangat ‘menjual’ kehebatan capres jagoannya disengat celetukan lawan debatnya. “Pak Tio nggak mudik tahun ini? Biasanya ke Surabaya. Kenapa Pak? Tiket pesawat mahal ya? Kan presidennya jagoan bapak,” kata Arief.
Baca juga : BPN Pasrah, Tak Bisa Larang Pendukung Prabowo Demo
Sambil nyengir-nyengir kecil Tio menjawab,”Iya nih Pak saya disini aja jagain kampung lebaran tahun ini. Ampun mahal Pak tiket pesawatnya. Katanya sih karena kartel.”
Berikutnya jawaban itu disambung dengan keluhan Tio tentang kondisi ekonomi saat ini yang makin sulit. “Wis Pak rasah sambat ae (sudahlah tak usah mengeluh). Yang penting masih ada kopi nih,” ujar Iwan.
Asyik memang kongkow ngobrol di pos di saat obrolan serius setengah curhat, ada saja peserta yang mengalihkan pembicaraan agar tetap cair. Tak tegang jadinya.
Baca juga : BI Tahan Suku Bunga Acuan 6 Persen
Dari situ obrolan bergeser ke tema yang jadi trending topik di masyarakat saat ini. Yakni tentang penerimaan peserta didik baru (PPDB) 2019 yang menerapkan sistem zonasi. Pak Iwan gagal memasukan anaknya di SMP negeri. Padahal nilai evaluasi murni (NEM) anaknya dibanding beberapa teman-teman anaknya masih lebih tinggi. Sayangnya anak Pak Iwan tetap tak diterima di SMP negeri. Jarak sekolah yang dituju anak Pak Iwan pun tak terlalu jauh dari rumahnya hanya 900 meter, kurang dari 1 kilometer. “Pusing jadinya saya mikirin sekolah buat anak. Jadi nyesel juga nih nyoblos kemarin,” kata Iwan.
Curcol (cuhatan colongan) itu ditanggapi canda oleh Tio. “Sudah Pak nggak usah ngelah-ngeluh diminum dulu kopinya. Manis kan? Nah sedot terus pokoknya jangan kasih kendor,” kata Tio.
Begitulah obrolan di pos security selalu cair. Tegang sesaat, cair kemudian lewat goyon. “Wah harus banyak-banyak guyon nih kita sekarang, biar nggak tegang.”
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.