Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS

Catatan :
Redaktur
Redaktur
RM.id Rakyat Merdeka - Jefri, seorang pemuda asal Bekasi, sedang melaju di kemacetan jalanan Ibu kota. Bersama temannya, dia menumpangi taksi. Dia tidak mau naik taksi online atau grab. Dia memilih naik taksi konvensional saja.
“Bapak saya seorang sopir taksi. Sudah almarhum. Kami anak-anaknya masih kecil-kecil ketika bapak kami meninggal dunia. Tahun 2003 lalu,” ujar Jefri kepada Syamsuri, sopir taksi konvensional yang membawanya bepergian, kemarin.
Bapaknya meninggal dunia karena mengalami sakit. “Gula. Sebelas tahun,” jawabnya ketika Syamsuri menanyakan penyebab meninggal bapaknya Jefri.
Jefri mengaku prihatin dengan kehidupan sopir taksi konvensional sekarang ini. Masih agak berbeda ketika di masa bapaknya sebagai sopir taksi. Masih memiliki pendapatan lumayan. Kalau sekarang, sudah banyak saingan. Dan perlahan redup.
Baca juga : KPK Ingatkan Rommy Jangan Bawa Nama Tuhan dan Rasul
“Bapak saya selalu melarang abang saya yang tertua untuk belajar menyetir. Saya juga dilarang. Kami masih kecil-kecil waktu itu. Katanya, enggak mau anak-anaknya jadi sopir taksi,” ujar Jefri.
Syamsuri tampak mengangguk-angguk saja mendengar rentetan ceritanya Jefri. “Katanya, jangan makan kalau sudah malam. Apalagi makan nasi, jangan. Paling lambat jam tujuh malam. Setelah itu enggak usah makan. Dan jangan langsung tidur. Itu yang saya dengar di radio. Kalau ada penyakit gula, ya begitu,” ujar Syamsuri merespons cerita sakit gula yang dialami ayahnya Jefri.
Syamsuri sudah menginjak 20 tahun lamanya narik sebagai supir taksi. Taksi konvensional. Pria beranak 3 yang tinggal di Citayam, Bogor, mengeluhkan kian sulitnya penghasilan bekerja sebagai supir taksi.
Setiap hari, keluar pagi, pulang jam 11 malam. Hanya mampu mengantongi seratus ribu rupiah. Setoran per hari Rp 300 ribu. Belum bahan bakar yang harus ditanggungnya. “Saya juga tak ingin anak-anak saya jadi sopir taksi. Kalau bisa janganlah. Alhamdulillah, ya enggak ada yang jadi sopir taksi,” ujar Syamsuri.
Baca juga : GO Indonesia Peringatkan Permadi: Jangan Adu Domba TNI!
Meski begitu, Syamsuri mengaku tidak ada lagi jenis pekerjaan lain yang bisa dilakoninya. Apalagi di masa perekonomian sulit yang dialaminya. Tak punya modal jika buka usaha. Tidak mengerti juga usaha apa yang bisa dilakoninya.
“Sudah kelamaan jadi sopir taksi. Ya sampai tua begini, hanya ini yang saya faham,” katanya.
Melintasi jalanan macet di antara pusat perbelanjaan yang sangat padat pengunjung, membuat Syamsuri melambatkan laju taksinya. Macet. “Lagi tanggal muda ya. Pada habis gajian. Belanja-belanja dulu. Makanya padat sekali, macet,” ujarnya.
Bagi Syamsuri, wajar saja masyarakat menghabiskan uangnya dengan berbelanja di mall-mall. Apalagi di masa gajian begitu. “Kalau yang gajinya gede, ya tak seberapalah belanja di mall. Enggak berasa. Kalau orang seperti saya ini, pas-pasan, barulah berasa. Enggak sanggup,” ujarnya.
Baca juga : Dinginkan Suasana dan Generasi Baru
Untuk kondisi seperti itu, Syamsuri sering berpegang pada tips-tips kesehatan yang didengarnya di siaran-siaran radio kala sedang narik. “Ya itu tadi, makan aja kadang dikurangi. Setoran belum dapat. Makanya, cocok juga tips kesehatan yang saya dengar di radio. Untuk mengatasi gula atau kegemukan, ya jangan makan. Jangan makan malam. Sampai jam tujuh malam batasnya. Dan jangan langsung tidur. Lumayan buat kesehatan dan ngurangin pengeluaran,” ucapnya kecut.
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya