Dark/Light Mode
RM.id Rakyat Merdeka - Memang, ini seperti judul film yang dibintangi Reza Rahardian dan Adinia Wirasti. Ceritanya sedikit mirip, yaitu sama-sama berhubungan dengan pesawat. Saat itu, dalam sebuah perjalanan udara waktu bertugas, saya duduk di bangku barisan bagian tengah pesawat, yang diapit dua penumpang. Sebelah kiri, masih bagian rombongan wartawan, tapi yang kanan adalah ibu muda yang membawa bayi.
Dalam percakapan yang dimulai dengan senyum sapa si bayi, dua orang dewasa yang kebetulan bertetanggaan selama penerbangan ini, akhirnya diketahui usia bayi itu enam bulan. “Habis dari rumah neneknya nih, Mbak,” ungkap si ibu, menjelaskan perjalanannya.
Pesawat belum take-off, Fahri, si bayi yang menggemaskan itu pun masih menikmati camilan di tangannya. Tawanya yang renyah menarik penumpang lain. Di depan, samping kanan, dan belakang kursi kami. Semua terhibur.
Pesawat take-off, si ibu sedikit panik. Maklum, sesuai cerita sang ibu, ini adalah perjalanan udara Fahri pertama. Tiga menit setelah take-off, tak ada reaksi gelisah dari Fahri. Aman. Fahri, tak menangis, bahkan dia terlihat nyaman. Si ibu selalu memperhatikan reaksi Fahri, khawatir sang anak merasa tak nyaman ketika guncangan terjadi pas momen tinggal landas itu.
Baca juga : Demokrasi Ala Remaja Majelis Taklim
Perjalanan Surabaya-Jakarta yang kurang lebih ditempuh satu jam itu memang bakal terasa lama di benak ibu yang membawa bayi. Sepanjang perjalanan itu saya dan si ibu bertugas membuat Fahri nyaman, reaksi otomatis di saya yang kebetulan senang-senang aja dihadapkan sama anak kecil.
Saat petugas pesawat memberikan penumpang makanan pun, Fahri masih menampilkan energinya, keriangan khas anak kecil. Tertawa, ngoceh. Wah, kami bahagia, tertular dari Fahri.
Merasa kelelahan, Fahri pun tertidur. Perjalanan udara yang bagi saya saat itu aman untuk bayi, jarang ada turbelensi yang terasa. Smooth. Asyik. Sampai tiba pemberitahuan dari kokpit, terdengar. Artinya, delapan menit ke depan pesawat siap mendarat.
Gerakan kepala saya refleks nengok ke si ibu, gantian ke Fahri. Si ibu senyum, tapi belum selesai menyempurnakan senyumnya, Fahri nangis. Kencang. Makin keras. Sebuah gerakan masal terjadi, penumpang lain mulai melirik dan mencari sumber tangisan itu.
Baca juga : Gantung Sepatu Futsal
Saya dan si ibu bergantian menggendong Fahri, membujuk, sekuat tenaga untuk meredamkan tangisnya. Kami menduga terjadi tekanan lumayan menyakitkan di telinga Fahri. Kami berkali-kali mencoba menutup telinganya, tapi nggak berhasil. Fahri makin menguatkan tangisannya.
Dan entah sudah berapa kali, Fahri bergantian di pelukan kami. Sampai akhirnya, penumpang di belakang kursi memberi saran, agar si ibu berdiri, berjalan sambil gendong Fahri. Tapi tak berhasil. Tangisan Fahri pun membuat kru pesawat berkali-kali menghampiri kursi kami.
Delapan menit sebelum mendarat di pesawat begitu lama. Kritis. Si ibu juga tak bisa apa-apa. Saat kemudian menarawarkan untuk menggendong lagi. Sampai di pangkuan saya, ketika itu pula Fahri diam. Saat yang sama pula roda pesawat terasa menyentuh landasan. Lega, kami berdua tersenyum. Fahri mulai ngoceh lagi.
Pesawat mendarat sempurna, penumpang siap turun. Dan ternyata Fahri selalu mendapat cubitan gemas dan sapaan dari penumpang bagian belakang kursi kami. Kesan yang tak terlupakan buat penumpang lain termasuk saya. Perjalanan akhir tahun lalu itu jadi momen pertama saya, bersebelahan dengan bayi. Dan mengalami yang namanya delapan menit kritis sebelum mendarat di pesawat. Hai, Fahri.
Baca juga : Jenazah Diurus Oleh Para Guru
Merry Apriyani, Wartawan Rakyat Merdeka
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.