Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

HNW Minta Pemerintah Revisi Kenaikan Harga BBM Bersubsidi

Senin, 5 September 2022 23:26 WIB
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. (Foto: Istimewa)
Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid. (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Wakil Ketua MPR Hidayat Nur Wahid menolak tegas naiknya harga BBM bersubsidi sementara bansos alih-subsidi bahan bakar minyak berpotensi tidak akurat. Apalagi, ketidak akuratan bansos alih subsidi bahan bakar minyak jumlahnya tidak sedikit yang diakui Presiden Jokowi (3/9).

HNW sapaan akrab Hidayat Nur Wahid menghitung, penerima bansos yang belum jelas datanya dan rawan tidak tepat sasaran berjumlah 1,85-an juta keluarga, sebagaimana dipahami dari pernyataan pers Menteri Sosial (3/9). Dan itu semua jadi bukti indikasi dini tidak tepatnya sasaran bansos sebagai pengalihan dari subsidi untuk BBM.

"Presiden Jokowi sendiri yang pernah menjamin tidak ada kenaikan harga BBM hingga akhir tahun, mengakui bahwa bansos alih subsidi BBM tidak akan sepenuhnya tepat sasaran," kata HNW, dalam keterangannya, Senin (5/9).

Di era di mana harga minyak dunia sedang turun, lanjutnya, pemerintah Malaysia juga turunkan harga BBM, maka sebaiknya janji jaminan tidak menaikkan harga BBM itu yang dipenuhi. Sekaligus dengan serius memperbaiki data yang berhak menerima Bansos reguler karena selalu jadi temuan dari BPK. Tidak justru begitu saja meloncat dengan keputusan baru subsidi BBM dialihkan menjadi bansos.

Karena, kata HNW, dampak dari kenaikan BBM akan memunculkan masalah-masalah sosial dan inflasi serta lonjakan angka kemiskinan yang lebih besar dari dampak singkat pertahanan daya beli dengan pemberian bansos pengalihan subsidi BBM tersebut.

Hidayat yang juga Anggota DPR Komisi VIII membidangi isu-isu sosial ini menjelaskan, selain sudah disampaikan Presiden, ketidaktepatan sasaran penerima bansos akibat ketidakakuratan semakin terlihat nyata dari penjelasan Menteri Sosial Tri Rismaharini.

Baca juga : Budi Gunawan: Pemerintah Pastikan Rakyat Kecil Dapat Perlindungan Maksimal

Dalam konferensi persnya (3/9), Mensos menyampaikan adanya data 18.486.756 keluarga penerima manfaat (KPM) yang sudah siap salur. Sementara sisanya yakni 313.244 masih dalam proses cleansing atau pembersihan data. Kedua data tersebut jika ditotal baru berjumlah 18,8 juta KPM, jauh lebih rendah dari total penerima yang berhak dan sudah diumumkan Presiden Jokowi yaitu 20,65 juta KPM.

Jadi ada 1.85 juta lebih data yang tak jelas statusnya dan ketepatan sasarannya, dan potensial kembali jadi temuan BPK, serta tidak efektif menjadi solusi atas dinaikkannya harga BBM bersubsidi.

Lantas data dan alokasi 1,85an juta KPM sisanya Mensos mengambil dari mana? Apalagi hal keganjilan seperti ini juga tidak pernah dibahas apalagi disetujui oleh Komisi VIII DPR.

"Ini berbahaya dan bisa jadi temuan KPK, jika tiba-tiba masuk data siluman atau data yang diada-adakan, hanya demi pencitraan Pemerintah yang seolah-olah peduli pada masyarakat yang sedang kesulitan atas kenaikan harga BBM, tapi hakikatnya malah menyusahkan rakyat. Kami tidak ingin terulangnya kasus Mensos yang ditangkap KPK karena terjadinya korupsi Bansos," sambungnya.

Wakil Ketua Majelis Syura PKS ini mengingatkan, selain 1,85-an juta data KPM yang tidak jelas sumbernya, ada 18,8 juta data yang dinyatakan sudah siap salur dan sedang dibersihkan tersebut bersumber dari data penerima program reguler yakni BPNT dan PKH.

Sayangnya, data kedua program tersebut konsisten bermasalah. Yang terbaru misalnya, pada Juni 2022 Badan Pemeriksa Keuangan mengungkapkan kesalahan penyaluran pada program-program tersebut mengakibatkan kerugian negara hingga Rp 6,9 triliun.

Baca juga : Lestari Minta Pemerintah Tak Abaikan Pembangunan Sumber Daya Manusia

Klaim Mensos bahwa 18,8 juta sudah siap salur juga patut dibuktikan ketepatannya. Pasalnya data-data seperti ini selama ini selalu ditemukan penyimpangan. Dari masih dicantumkannya warga yang sudah meninggal tapi masih masuk data, tidak tercantum datanya di DTKS, NIK invalid, KPM sudah nonaktif tapi masih diberikan, dan banyaknya penerima ganda.

Seperti disampaikan Presiden, bantuan langsung tunai alih-subsidi BBM memakan anggaran Rp 12,4 triliun yang diberikan kepada 20,65 juta keluarga dengan besaran Rp 150 ribu per bulan selama 4 bulan. Bansos tersebut merupakan bagian dari skema anggaran alih-subsidi BBM sebesar Rp 24,17 triliun.

Sementara itu, nilai kebutuhan tambahan anggaran subsidi untuk menahan harga BBM tidak naik adalah Rp 198 triliun, jauh lebih besar dari angka bansos. Dampaknya, efek negatif kenaikan harga BBM pasti lebih besar dari efek pertahanan daya beli sesaat akibat pemberian bansos.

Dari jomplangnya angka subsidi dan bansos tersebut, tambah dia, bisa dilihat bahwa bansos hanya berperan sebagai pelipur lara sesaat saja. Kalau Pemerintah memang serius membantu masyarakat dan mengalihkan subsidi BBM menjadi bansos, maka nilai bansosnya harus setara dengan nilai kebutuhan tambahan subsidi yakni Rp 198 triliun.

"Pendataan bansos harus disiapkan dengan matang dan akurat agar tepat sasaran, pemberiannya hendaknya tidak hanya beberapa bulan tapi sepanjang waktu terdampak akibat dinaikkannya harga BBM, dan penerimanya tidak hanya 20,65 juta, tapi sebanyak warga yang terdampak negatif akibat dinaikkannya harga BBM itu," ujarnya.

Namun demikian, HNW tetap mendesak agar Pemerintah yang diperintahkan oleh Konstitusi dan Pembukaan UUD 45 untuk memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh Rakyat Indonesia, segera mengoreksi dengan tidak jadi menaikkan harga BBM sekalipun terlanjur diumumkan.

Baca juga : Energi Watch Dukung Pemerintah Kembangkan PLTB

Seharusnya Pemerintah terlebih dahulu membahasnya dengan DPR yang mayoritasnya menolak kenaikan harga BBM. Mendengarkan jeritan rakyat yang makin disusahkan bila harga BBM tetap dinaikkan. Mencerna masukan dari para pakar bagaimana menghindarkan pembebanan terhadap APBN dengan tidak menambah kesusahan rakyat.

Misalnya dengan menunda proyek-proyek yang tidak prioritas dan tidak menjadi hajat rkyat banyak. Seperti infrastruktur, serta memprioritaskan pembangunan kilang agar Indonesia tidak lagi mengekspor minyak mentah dan mengimpor kembali dari Singapura.

"Dengan demikian akan ada ketersediaan minyak siap pakai di Indonesia. Agar selamatlah APBN kita, selamat juga Rakyat Indonesia akibat dari ketidakbijakan menaikkan harga BBM bersubsidi," pungkasnya. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.