Dark/Light Mode

Melampaui Kalkulasi Politik, Meneguhkan Demokrasi yang Bermutu

Minggu, 3 November 2019 06:23 WIB
Charles Meikyansyah (kanan) bersama Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (Foto: Istimewa)
Charles Meikyansyah (kanan) bersama Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Ketika Ketua Umum NasDem Surya Paloh memimpin rombongan Partai NasDem untuk bersilaturahmi dengan segenap pimpinan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di kantor DPP PKS TB Simatupang pada Rabu (30/10/2019), saya mendapati banyak pertanyaan. Apakah NasDem keluar dari pemerintahan dan menjadi partai oposisi? Manuver politik apa yang dilakukan NasDem? Dan pertanyaan serupa lainya. 

Menjawab serangkaian pertanyaan pasca pertemuan antara NasDem dengan PKS, saya memulainya dengan mengisahkan sejarah dan temuan-temuan perkembangan politik mutakhir. 

Di awal abad 20, Lord Acton, Bangsawan Inggris, melancarkan protes atas kepemimpinan absolut Paus dalam katolik. Bagi Lord Acton, kekuasaan yang mutlak memiliki kecenderungan yang korup. Lord Acton berujar “Power tends to corrupt; absolute power corrupts absolutely”. Oleh karena itu kekuasaan harus dibatasi dan diawasi. 

Dalil Lord Acton masih sangat relevan sampai hari ini. Itu mengapa demokrasi masih merupakan sistem yang dapat bertahan sejauh ini karena memiliki perangkat pembatasan dan pengawasan dalam kekuasaan. Francis Fukuyama menegaskan evolusi sistem politik paling mutakhir bahwa demokrasi sebagai “the end of history”. 

Eksperimen sistem politik tanpa pembatasan kekuasaan dan “check and balances” sejauh ini selalu menyisahkan tragedi kemanusiaan. Fasisme era Hitler sampai Totalitarianisme era Lenin. Demokrasi juga demikian akan menghasilakan tragedi kemanusiaan ketika demokrasi menghilangkan satu prinsip dasar yaitu “check and balances”. 

Baca juga : Perpisahan Kabinet Mengharukan dan Menghibur, Jokowi Kehilangan JK

Begitu juga dengan temuan mutakhir demokrasi tanpa kesimbangan dijalankan dan berakibat pada kemunduran. Sankara Kamara (2013) menuliskan bagaiaman Sierra Leone mengalami pembusukan politik (political decay) k dalam Sierra Leone: democracy without opposition dengan cukup baik dimana ketika demokrasi berjalan tanpa check and balances telah membawa Sierra Leone dalam kemunduran. 

Secara faktual memang demikian, Vicky Randall dan Lars Svasand dalam tulisanya yang berjudul The Contribution of Parties to Democracy and Democratic Consolidation (2002) menunjukkan bahwa kemunduran negara-negara Afrika seperti Sierra Leone, Zimbabwe, Namibia, dan hampir sebagian besar negara-negara Afrika karena menyelenggarakan politik tanpa check and balances (Democracy without Opposition). Padahal oposisi tidak hanya dibutuhkan sebagai penyeimbang, tetapi juga berguna untuk memberikan opsi kebijakan alternatif.

Jalan NasDem

Itu mengapa ketika pendulum politik kita bergerak menuju apa yang disebut sebagai Democracy without Opposition, NasDem memilih untuk menyelamatkan agar demokrasi kita terus memiliki perangkat utama yaitu check and balances. 

Itulah yang melatarbelakangi pertemuan TB Simatupang (Kantor DPP PKS) antara ketua umum NasDem, Surya Paloh dengan ketua umum Partai Keadilan Sejahtera (PKS) pada Rabu (30/10/2019).

Baca juga : Hadapi Resesi Global, Menkeu Perketat Konsumsi Domestik

Absennya check and balances, akan menyuburkan kekuasaan yang absolut. Demi kepentingan bangsa, demokrasi tidak boleh berjalan tanpa keseimbangan. NasDem memilih untuk menyelenggarakan politik yang kritis dan konstruktif demi demokrasi yang bermutu. 

Lalu apakah NasDem lantas keluar dari pemerintahan? Opisisi seharusnya tidak bisa lagi dimaknai secara biner. Hadirnya perwakilan NasDem dalam pemerintahan merupakan ikhtiar NasDem untuk menegaskan politik yang kritis dan konstruktif. Selain itu NasDem juga mengajak serta partai diluar pemerintahan untuk terus memainkan politik penyeimbang agar prinsip check and balances sebagai prinsip utama demokrasi terus bekerja serta memberikan alternatif kebijakan. 

Keluar dari Ancaman Otoritarian

Pekerjaan Rumah kita kedepan sungguh sangat besar. Terus menyelenggarakan demokrasi yang bermutu dengan menguatkan sistem check and balances akan  menyelesaikan masalah utama yaitu kembalinya politik otoritarian yang menghambat negara untuk maju.

Vicky Randall dan Lars Svasand dalam tulisanya yang berjudul The Contribution of Parties to Democracy and Democratic Consolidation (2002) menunjukkan bahwa matinya mekanisme check and balances karena ketiadaan partai oposisi membuat negara-negara di Afrika berada dalam otoriatarianisme. Kita memiliki sejarah kelam bahaya kembalinya politik otoritarian. 

Baca juga : Meski Kemarau, Mentan: Nol Impor, Gudang Bulog Penuh

Kita memiliki sejarah panjang bagiamana demokrasi bekerja tanpa oposisi pada rezim orde baru. Kooptasi oposisi dalam cengkraman rezim membuat pembangunan politik mengalami pembusukan (political decay) dan berakhir dalam kejatuhan melalui reformasi. 

Jalan kritis dan konstruktif akan menghidupkan oposisi dan membuat relasi yang seimbang (balance of power). NasDem memilih untuk menghidupkan relasi yang seimbang antara pemerintah dengan oposisi. Karena kalau tidak, dan NasDem memilih untuk merayakan obesitas kekuasaan maka kita akan jatuh pada sejarah kembalinya otoritarian. Harga yang mahal bagi bangsa. 

NasDem memilih untuk melampaui kalkulasi politik demi kepentingan partai sesaat. Jauh dari itu, pertemuan di TB Simatupang adalah jalan untuk terus menghidupi demikrasi agar lebih bermutu.

Charles Meikyansyah
Anggota DPR Fraksi Nasdem Periode 2019-2024

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.