Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU
RM.id Rakyat Merdeka - Politik kekerabatan atau lebih popular dengan istilah politik dinasti kembai menjadi sorotan publik. Terutama ketika Gibran Rakabuming Raka, putra sulung Presiden Jokowi direkomendasikan PDIP maju jadi calon Wali Kota Solo 2020.
Menurut Direktur Eksekutif Citra Institute, Yusa Farchan, diskursus politik dinasti seolah seperti benang kusut di pilkada. Sulit diurai dan dicarikan jalan keluarnya.
Sebagian besar kalangan menganggap, politik dinasti adalah residu demokrasi karena menabrak batas-batas standar etik dan moral politik pemegang kuasa.
Sebagian lagi menilai politik dinasti adalah realitas politik wajar karena memiliki akar historis dalam lanskap politik tanah air.
Politik dinasti, lanjut Yusa’ adalah reinkarnasi dari model patrimonialisme era monarki di mana klan politik dibentuk berdasarkan faktor genealogis.
Baca juga : Jadi Ketua DPD-PDIP Sumut, Djarot Siap Menangkan Pilkada
“Hanya saja, patrimonialisme gaya baru ini direproduksi melalui rekrutmen kepemimpinan politik oleh parpol dan dilegitimasi oleh saluran-saluran formal demokrasi melalui pemilu baik di level eksekutif maupun legislatif,” papar Yusa’ kemarin.
Dia menilai, sengkarut politik dinasti menjadi semakin rumit karena norma hukum larangan politik dinasti dalam Pasal 7 huruf r Undang Undang No 8 Tahun 2015 sudah dibatalkan MK, pada 2015.
Hal itu bertumpu pada argumentasi lemahnya unsur pengawasan dan pelanggaran hak konstitusional warga negara. MK menganggap pasal itu diskriminatif dan bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945.
“Pasca putusan MK itu, dalam kasus pencalonan kerabat petahana di beberapa daerah, memang tidak ada yang dilanggar parpol. Secara yuridis, pencalonan mereka sah dan konstitusional. Tapi justru di sinilah problemnya ketika politik dinasti masuk dan dilembagakan melalui prosedur formal demokrasi. Frasa “demokratis dan terbuka” dalam rekrutmen politik sebagaimana diatur dalam Pasal 29 Undang Undang No 2 Tahun 2011 dalam prakteknya juga ditafsirkan secara bias. Institusionalisasi politik dinasti melalui prosedur formal demokrasi justru menggambarkan kemunduran demokrasi itu sendiri,” jelasnya.
Namun, lanjutnya, dalam demokrasi liberal-kapitalistik, sirkulasi kepemimpinan politik memang tidak bisa dilepaskan dari relasi kuasa-modal. Jangkar-jangkar kekuasaan yang terdistribusi rapi ke dalam bentuk-bentuk shadow state dan informal governance, salah satunya disumbang oleh pelembagaan politik kekerabatan.
Baca juga : Nasdem Usul Dibentuk Peradilan Khusus Pemilu
“Pada titik inilah, etika moral politik jadi sangat penting dan diperlukan sebagai bentuk pengendalian kekuasaaan politik. Prinsip kesetaraan dan keadilan harus tegak bersama dalam etika dan moral politik dalam rangka mendorong rekrutmen kepemimpinan politik yang inklusif. Partai politik tetap memiliki tangggung jawab moral untuk mengelola kehidupan politik dan bernegara yang demokratis sesuai tuntutan reformasi,” bebernya.
Yusa’ menilai infrastruktur etik di lingkungan politik perlu dibangun secara fungsional dan diletakkan dalam kerangka pengawasan sekaligus pengendalian ekosistem politik sehat dan demokratis.
Sementara, jika ingin menguji kompetensi Gibran dalam konteks pencalonan, sebenarnya tidak ada yang istimewa, kecuali pernyataannya sendiri.
Dua tahun lalu, secara terbuka Gibran menyatakan keengganannya masuk gelanggang politik karena risih akan tudingan politik dinasti.
“Kini, ketika masuk arena politik, dia menolak disebut sedang mempraktikkan politik dinasti. Ia berdalih dengan argumentasi mengikuti kontestasi, bukan penunjukan dengan konsekuensi menang atau kalah,” tuturnya.
Baca juga : Pelatih Sepak Bola Satia Bagdja Tutup Usia
Tapi, apa pun argumentasi itu, Yusa memprediksikan akan sulit sekali untuk tidak mengatakan keputusan politik yang diambilnya saat ini merupakan bagian dari politik dinasti karena bersentuhan langsung dengan jantung kekuasaan.
“Akan lebih menarik jika Gibran mampu menggeser diskursus politik dinasti “tanpa ujung” itu ke dalam diskursus lain menyangkut dimensi-dimensi kapabilitas dan kompetensinya sebagai calon kepala daerah. Success story-nya sebagai entrepreneur,” kata Yusa, setidaknya bisa menjadi modal penting bagaimana membangun tata kelola kota modern pewaris Kesultanan Mataram tersebut. [EDY]
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya