Dark/Light Mode
- Tambahan Gas Dari JTB Amankan Bahan Baku Produksi Petrokimia Gresik 2023
- Borneo FC Vs Persik Kediri: Awas, Macan Putih Ngamuk Lagi!
- Minta Hakim Tolak Pleidoi, Jaksa Nilai Penjara 8 Tahun Pantas Buat Putri Candrawathi
- Kunjungi Ponpes Yatofa di NTB, Anies Disambut Ribuan Santri dan Masyarakat
- Pertamina Targetkan 300 Mobil Tangki di Tahun 2025

RM.id Rakyat Merdeka - Apakah rakyat sudah terjangkit sikap “kemenangan adalah segala-galanya”? Kalau iya, sangat berbahaya. Sikap ini terkait kontestasi politik; pilkada, pilpres, atau pemilu legislatif.
Kalau kepuasan karena berhasil mengalahkan pihak lain dirasakan jauh lebih penting dan lebih nikmat daripada menemukan seorang pemimpin hebat, maka alarm bahaya sudah berbunyi.
Kondisi ini bisa menjadi dopamin politis yang sangat membuai. Karena, keberhasilan “mempermalukan” tetangga yang jagoannya kalah pilpres atau pilkada bisa membuat orang melupakan kepentingan yang lebih besar.
Berita Terkait : Kornas Ganjarist Ajak Stop Politik Identitas
Kepuasan ini bisa membuat rakyat abai terhadap proses pembentukan kebijakan, tidak lagi obyektif, serta bersikap masa bodoh terhadap arah perjalanan daerah maupun bangsanya. Yang penting puas dengan sikap dan identitas politiknya. Titik. Itu sudah cukup.
Bahwa semua orang mencari kemenangan, itu wajar. Semua orang ingin menang, pasti. Tapi kalau kemenangan serta menghancurkan lawan menjadi tujuan akhir, ini sangat berisiko. Karena, perjalanan bangsa tak berhenti ketika pemenang diumumkan atau lawan ditaklukkan.
Dalam beberapa tahun belakangan, politik identitas bukan lagi sekadar identitas agama, gender, profesi, etnis serta ras. Ada yang lain, misalnya, cebong, kampret atau istilah lain yang sangat agresif.
Berita Terkait : Febby Rastanty, Mesra Dengan Polisi
Politik identitas menjadi identitas politis yang sangat kental dan dalam. Identitas ini terasa sangat emosional. Bukan ideologis.
Ketika seseorang sudah mematri dirinya dengan identitas politik tertentu, maka yang lain dicap salah. Identitas yang sangat emosional ini akan terus melekat termasuk dalam menyikapi isu atau kebijakan.
Penelitian yang dilakukan di Amerika Serikat menyebutkan bahwa pendukung Partai Republik akan mendukung habis-habisan satu kebijakan yang diluncurkan oleh Partai Republik.
Berita Terkait : Di Rakornas PBB, Jokowi Pesan Jaga Stabilitas Keamanan di Tahun Politik
Sebaliknya, ketika kebijakan yang sama persis diluncurkan oleh Partai Demokrat, kebijakan tersebut akan ditentang habis-habisan. Ini emosional. Bukan ideologis. Bukan lagi benar salah. Bukan lagi melihat substansi. Tapi, “siapanya”.
Sejarah politik membuktikan, bahwa penguasa mana pun, kapan pun, akan memanfaatkan kondisi ini. Misalnya dalam proses pembuatan kebijakan publik. Kalau kebijakannya positif, bagus. Menguntungkan rakyat. Tapi kalau tidak, ini sangat berisiko.
Kondisi ini jangan sampai berjalan terlalu jauh dan berlarut-larut. Karena, dampaknya bukan hanya satu kelompok yang melenceng, bukan hanya sekadar memperebutkan pepesan kosong. Bangsa pun bisa tersesat. Bisa salah arah.(*)