Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Hak Demokrasi Vs Hak Sehat

Selasa, 22 September 2020 05:02 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Sudah banyak yang meminta Pilkada serentak 9 Desember ditunda. Tak perlu dipaksakan. Karena, perjalanan menuju Desember bisa menjadi perjalanan yang dihantui horor. Horor kesehatan. Tapi pemerintah bergeming. Pilkada jalan terus. Tidak ditunda.

Mantan Wapres Jusuf Kalla, PBNU, PP Muhammadiyah, Dewan Perwakilan Daerah serta beberapa ormas termasuk yang menyarankan supaya Pilkada ditunda.

Sebenarnya, penundaan bukanlah yang pertama. Pilkada 9 Desember adalah produk penundaan. Tanggal itu dipilih karena Desember diperkirakan Covid-19 sudah menurun. Ternyata, sekarang, trennya meningkat.

Saat itu, bahkan ada opsi Pilkada diundur sampai 2021. Karena, perkiraannya, 2021 sudah relatif kondusif. Antara lain, diperkirakan sudah ada vaksin. Tapi karena perkiraannya terlalu “optimis”, akhirnya diputuskan 9 Desember.

Baca juga : Drama Pertamina, Ahok, Tom and Jerry

Selain alasan kesehatan, memaksakan Pilkada saat pandemi bisa berdampak terhadap kualitas demokrasi. Hasil survei beberapa lembaga menyebutkan, kalau pilkada digelar Desember, partisipasinya sangat rendah.

Survei Charta Politika menyebutkan, hanya 34,9 persen pemilih yang siap ke TPS. Indikator Politik Indonesia, juga menghasilkan hal senada: hanya 34,3 persen.

Beberapa negara yang menggelar pilkada di masa pandemi membuktikan itu: tingkat partisipasinya sangat rendah. Salah satu pengecualiannya, Korea Selatan, yang menggelar pemilihan April lalu. Partisipasi di Korsel sangat tinggi.

Selain Korsel, belasan negara lainnya memutuskan untuk melanjutkan pemilu. Kualitasnya sangat beragam. Sedangkan lebih dari enam puluh negara menunda pemilu.

Baca juga : Hentikan Polarisasi Ini!

Rendahnya partisipasi melahirkan pertanyaan mengenai legitimasi dan kualitas pemilu. Di beberapa negara malah terjadi kerusuhan setelah pemilu. Seperti di Belarusia dan Serbia.

Di Belarusia, aksi protes yang meluas setelah pemilu, dituding sebagai penyumbang meningkatnya Covid-19 di negara itu. Di beberapa negara yang menggelar pemilu, memang ada kecenderungan Covid-19 meningkat. Walau, pemilu bukanlah penyebab tunggal.

Korsel sebaliknya. Negara ini dipuji karena pemilunya sangat mengikuti protokol kesehatan. Penyelenggara dan rakyatnya patuh. Disiplin. Sukses. Indonesia ingin meniru itu.

Kita menghargai tekad pemerintah yang ingin menjaga hak demokrasi rakyat serta menjaga kontinuitas kepemimpinan. Tapi, rakyat juga punya hak yang lain: hak untuk sehat. Juga bebas dari kecemasan dan rasa khawatir. Itu tak kalah pentingnya.

Baca juga : Ironi Pilkada dan Covid

Sekarang pertanyaannya: dari pengalaman beberapa negara tersebut, jalur dan jalan manakah yang akan dilalui Indonesia?(*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.