Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Hati-hati `Polidemic`

Selasa, 18 Agustus 2020 05:01 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Siapa yang dimaksud Presiden Jokowi “merasa paling agamis dan paling pancasilais”? Kita tidak perlu berbasa-basi. Semuanya sudah tahu. Dua kelompok yang kerap dan masih berseteru itu sudah terang benderang.

Ibarat bendera merah putih, kesatuan itu telah terbelah menjadi dua: merah dan putih. Di dunia nyata maupun dunia maya. Sampai sekarang.

Belum pernah dalam sejarah republik ini, polarisasi terjadi sedemikian kuat dan meluasnya. Kalau pun Jokowi dan Prabowo bersatu dalam pemerintahan, tetap saja polarisasi itu tak serta merta mencair. Keterbelahan itu telanjur meluas dan masif.

Luka yang ditimbulkannya telanjur dalam. Prabowo hanya bagian kecil dari polarisasi itu.

Baca juga : 17 Agustus, Ingat Rudi Salam

Kapan ini akan berakhir dan mencair? Tidak ada yang tahu. Karena, jangan-jangan, ada yang menikmati polarisasi itu sebagai modal politik. Ada yang memelihara itu demi kursi kekuasaan. Jangan-jangan ada yang terpaksa mengorbankan keutuhan bangsa demi politik jangka pendek.

Peringatan Presiden Jokowi supaya tidak ada yang merasa paling agamis dan paling pancasilais, sangat bagus. Ideal sekali. Namun, dibutuhkan langkah konkret untuk mewujudkannya.

Apa misalnya? Mengubah presidential threshold atau PT! Dalam dua Pilpres terakhir, PT atau ambang batas pencalonan pasangan calon presiden dan wakil presiden minimal 25 persen  kursi di DPR atau 20 persen  suara sah nasional dalam pemilu legislatif.

Beberapa kajian, termasuk oleh LIPI, menyebutkan, ambang batas ini terlalu tinggi. Akibatnya, sedari awal, polarisasi sudah terbentuk: hanya ada dua pasang calon. Dampaknya, terjadi polarisasi tajam, dalam dan berkepanjangan. Polarisasi yang dikhawatirkan Presiden Jokowi itu.

Baca juga : Makin Banyak Aja Yang Daftar, Apa Pengangguran Bertambah?

Yang ideal, ambang batas pencalonan presiden ditiadakan, atau nol. Semua parpol bisa mengajukan calon. Atau, minimal batasnya 5 persen. Tidak lebih dari delapan persen.

Batas atas juga perlu ditentukan. Ini untuk menghindari munculnya calon tunggal.  Calon tunggal bisa terjadi kalau semua parpol bersatu mendukung satu calon.

Ini sudah terjadi di beberapa pilkada. Akibatnya, demi menunjukkan bangsa ini sebagai bangsa demokratis, dengan biaya pemilihan yang sangat besar, si calon tunggal akhirnya melawan kotak kosong.

Apakah ini bisa di terjadi Pilres 2024? Bisa saja, kalau semua partai mendukung satu calon. Atau, ada dua parpol tersisa namun tak bisa memenuhi syarat ambang batas 20 persen itu.

Baca juga : Kita Bukan Keledai!

Ini tentu tidak sehat. Karena itu, ambang batas pencalonan perlu diturunkan atau ditiadakan. Kalau tidak, keterbelahan ini akan kian dalam, meluas, tajam, menguat dan berkepanjangan. Entah sampai kapan.

Jangan anggap enteng kondisi tidak sehat ini. Hati-hati. Dia bisa menjadi endemi politik. Polidemic atau political endemic bisa menyerang tanpa disadari. Seperti Covid-19.(*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.