Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Kotak Kosong, Sampai Kapan?

Kamis, 27 Agustus 2020 05:01 WIB
SUPRATMAN
SUPRATMAN

RM.id  Rakyat Merdeka - Ini faktanya:
Pilkada serentak 2015, ada 3 calon tunggal. Lawannya 3 kotak kosong.
Pilkada serentak 2017, calon tunggalnya naik menjadi 7.
Pilkada serentak 2018, bertambah lagi: 16 calon tunggal.

Bagaimana dengan Pilkada serentak 2020? Dari 270 pilkada, 31 pilkada berpotensi melahirkan calon tunggal. Melawan kotak kosong lagi. Ini belum final, karena masih menunggu sampai pendaftaran dibuka pada 4 September 2020. Enam hari lagi.

Sehatkah fenomena ini? Bahkan, di antara tokoh-tokoh parpol pun merasa, ini sangat merusak demokrasi. Tidak sehat. Mereka tidak setuju melihat “demokrasi seolah-olah” berbiaya besar ini.

Ajaibnya, para politisi itu seolah mengeluhkan diri sendiri. Curhat ke diri sendiri. Karena, jelas, politisi dan parpol-lah, yang bersama pemerintah melahirkan Undang-Undang. Merekalah yang mengatur tata cara permainannya.

Baca juga : Pemerintah, Konglomerat, dan Rakyat

UU Pilkada atau UU Pemilu, UU Parpol itu, menjadi salah satu sebab muncul dan meningkatnya calon tunggal di Pilkada.

Persyaratan berat yang diamanatkan UU menghambat munculnya calon perseorangan. Persyaratan jumlah suara dan jumlah kursi menghambat satu atau bahkan gabungan dua partai mengusung calon.

Apalagi kalau ada calon yang bisa memborong hampir semua partai. Game over-lah. Permainan selesai, karena hanya ada satu calon. Pilkada ibarat hanya pesta pengukuhan. Seperti menang WO.

Kenapa parpol bisa ngumpul semua ke salah satu calon? Karena si “calon tungal” tersebut punya modal, apa pun, yang sangat kuat. Sementara bakal lawannya, ciut duluan. Apalagi kalau dia tak punya uang, tak punya cukong yang mem-back-up-nya. Goodbye.

Baca juga : Hati-hati `Polidemic`

Modal, terutama modal uang, menjadi salah satu penghambat utama. Ada “uang perahu”, “uang mahar”, “uang bensin” dan sejenisnya. Nilainya bervariasi. Kursi bupati, walikota, gubernur, punya label harga masing-masing. Beberapa bakal calon pernah mengeluhkan soal ini. Dia bahkan menyebut berapa uang yang dia setor ke parpol.

Parahnya lagi, di lingkup parpol sendiri, penentuan calon kepala daerah cenderung elitis, eksklusif dan oligarkis. Hanya diketahui dan ditentukan segelintir orang. Kadernya sendiri pun bingung, kenapa si A terpilih, si B tidak.

Setelah si calon ditentukan oleh pusat, kader di daerah dipaksa setia, taat dan harus ikut garis partai, maksudnya keputusan segelintir orang di DPP. Internal parpol pun mengeluhkan kondisi ini. Anehnya, mereka seperti mengeluhkan diri sendiri. Mengkritik UU yang dibuat “segelintir” orang.

Melihat fenomena oligarkis ini, seorang pakar dalam nada satir yang pahit  mengatakan, kalau mau menguasai negeri ini caranya mudah: "beli" saja Undang-Undang. Beres. Selesai. Murah.

Baca juga : 17 Agustus, Ingat Rudi Salam

Tapi bagi rakyat, ini harga sangat mahal dan bentuk ketidakberesan yang tak berujung. Ketidakberesan yang terus meningkat dari tahun ke tahun, seperti peningkatan calon tunggal yang melawan kotak kosong di banyak pilkada.

Perjuangan menyempurnakan UU kemudian menjadi perjuangan bersama. Kalau tidak, pertanyaan galau akan terus diajukan: Sampai kapan fenomena ini akan berlangsung?(*)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.