Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Pembangunan PLTSa Kepentok Fee Dan Harga Jual Listrik

Senin, 22 Juli 2019 12:46 WIB
Pengamat Ekonomi Dan Energi Univ UGM Fahmy Radhi. (Istimewa)
Pengamat Ekonomi Dan Energi Univ UGM Fahmy Radhi. (Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Presiden Joko Widodo menekankan peliknya masalah sampah, yang menempatkan Indonesia menjadi negara kedua dengan volume sampah terbesar di dunia. Untuk mengatasi masalah sampah ini, Presiden sudah memerintahkan pengelolaan sampah untuk dijadikan energi listrik dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Sampah (PLTSa) di 12 daerah.

Amanat bagi keduabelas Kepala Daerah itu sudah dituangkan ke dalam Peraturan Presiden (Perpres) 35/2018 tentang Percepatan Pembangunan Instalasi Pengolah Sampah Menjadi Energi Listrik Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan.

Namun, Pengamat Ekonomi Energi dan Pertambangan Universitas Gadjah Mada Fahmy Radhi mengatakan, pembangunan PLTSa tersebut belum juga dapat direalisasikan sesuai target karena ada permasalahan terkait tipping fee dan harga jual listrik PLTSa.

Ia menjelaskan, PLTSa adalah pembangkit listrik yang dihasilkan dari sampah menjadi gas methan (biomas).

"Teknologi PLTSa menggunakan pendekatan zero waste, sehingga sampahnya hilang setelah diubah menjadi biomas," kata Fahmy dalam keterangan pers di Jakarta, Senin (22/7/2019).

Baca juga : Menkes Resmikan Indeks Pembangunan Kesehatan Masyarakat

Diterangkan, teknologi tersebut sudah diterapkan di banyak negara yang memenuhi standar emisi ramah lingkungan, yang dioperasikan di dalam kota. Daya listrik yang dihasilkan PLTSa bervariasi antara 500 KW sampai 10 MW.

"Bandingkan dengan PLTU Batubara dengan daya 40 MW sampai 100 MW per unit atau PLTN berdaya 300 MW sampai 1200 MW per unit," katanya 

Sementara, tipping fee adalah biaya yang dibayarkan oleh Pemerintah Daerah kepada pengembang PLTSa untuk mengurai sampah dalam proses menghasilkan listrik.

"Penetapan tipping fee ini berdasarkan jumlah sampah yang dikelola per ton. Sedangkan, harga jual listrik adalah harga listrik dari pengembang PLTSa yang dijual kepada PT Perusahaan Listrik Negara Persero (PLN) dengan harga yang wajar, agar PLN bisa menjual ke pelanggan dengan harga sesuai tarif tenaga listrik," sambungnya.

Perlu diingat bahwa pengelolaan sampah sesungguhnya merupakan tanggung jawab Pemerintah Daerah dan Kementerian LHK, bukan kewajiban PLN maupun Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), termasuk dalam pengembangan PLTSa di setiap daerah.

Baca juga : Rekonsiliasi Dibangun dengan Kedepankan Kepentingan Bangsa

Oleh karena itu menurutnya, pembiayaan pengelolaan sampah menjadi energi listrik mestinya dianggarakan dari APBD dan anggaran Kementerian LHK. Tujuan pengelolaan sampah untuk menciptakan lingkungan yang bersih dan sehat, serta tidak mencemari lingkungan, sehingga Pemerintah Daerah tidak melanggar UU Lingkungan Hidup, yang dapat dipidanakan.

Supaya listrik sampah ini menarik investor, kata Fahmy, Kementerian ESDM telah mengupayakan langkah-langkah seperti mewajibkan PLN untuk beli listrik dari PLTSa (Pembangkit Listrik Tenaga Sampah) dan mengatur harga jual listrik menurut Permen ESDM Nomor 50 Tahun 2017, dengan ketentuan harga beli maksimal 100 persen dari rata-rata Biaya Pokok Produksi (BPP) listrik nasional.

Dalam perkembangan pentarifan harga jual listrik dari pengembang PLTSa , sesuai Peraturan Presiden No 35/ 2018, PLN diwajibkan membeli listrik yang dihasilkan oleh pengembang PLTSa dengan harga 13,35 cent dolar AS per kWh, yang berbeda dengan Kepmen ESDM no 50/2017.

Berdasarkan Perpres 35/2018, tipping fee ditetapkan paling tinggi sebesar Rp. 500.000 per ton sampah dan harga jual listrik ditetapkan sebesar 13,35 cent dolar AS per kWh.

"Harga jual listrik sebesar 13,35 cent dolar AS per kWh itu masih di bawah keekonomian, yang semestinya sebesar 17,00 cent dolar AS per kWh, sehingga memunculkan tipping fee, yang harus dibayar oleh Pemerintah Daerah," ujarnya.

Baca juga : Piala Presiden, Apresiasi Dari Negara Untuk Karya Jurnalistik Terbaik

Meskipun masih di bawah keekonomian, penetapan tarif sebesar 13,35 cent dolar AS per kWh sebenarnya masih sangat tinggi, bandingkan dengan tarif PLTU dan PLTGU yang tarifnya ditetapkan di bawah 7 cent dolar AS per kWh.

Dikatakan, lantaran penugasan, PLN harus membeli listrik yang dihasilkan oleh PLTSa Daerah sesuai dengan harga ditetapkan dalam regulasi, asal memenuhi standar kualitas ditetapkan dan kontinuitas pasokan agar tidak menganggu pelayanan.

Menurutnya, penetapan harga jual yang terlalu tinggi, di satu sisi akan menguntungkan bagi pengembang, yang akan memperoleh hasil penjualan listrik ke PLN dan tipping fee. Namun di sisi lain, penetapan harga jual yang tinggi itu akan menambah beban bagi PLN, yang ujung-ujungnya PLN akan membebankan harga jual yang tinggi itu kepada konsumen dalam penetapan tarif dasar listrik, agar PLN tidak merugi.

Alternatifnya saran dia, penetapan tarif PLTSa diturunkan atau tetap dengan tarif tinggi, tetapi PLN memperoleh kompensasi dari Pemerintah agar tidak memberatkan bagi PLN dan konsumen atau menggunakan acuan permen ESDM no 50/ 2017 dengan harga jual listrik ke PLN maksimal sama dengan Biaya Pokok Produksi Listrik Nasional. [NOV]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.