Dark/Light Mode

Pajak Karbon: Solusi dari Polusi

Senin, 25 Maret 2024 21:31 WIB
Polusi udara (Foto: Kemenkeu)
Polusi udara (Foto: Kemenkeu)

Dulu, ketika saya masih begitu belia, saya memiliki pemikiran naif, seperti “Jika polusi pabrik merusak lingkungan, lalu kenapa Pemerintah masih mengizinkan pendirian pabrik? Mengapa Pemerintah tidak menutup aktivitas produksi di lingkungan pabrik?” Setiap kali melihat dampak buruk yang ditimbulkan oleh pabrik di sekitaran lingkungan, yang terlintas di benak saya hanyalah cara untuk menutup pabrik tersebut.

Akan tetapi, seiring dengan berjalannya waktu, saya memahami bahwa langkah untuk menutup pabrik untuk mengatasi masalah lingkungan merupakan langkah yang agak rancu, mengingat pabrik juga merupakan salah satu bentuk lapangan pekerjaan yang menyerap banyak sekali tenaga kerja dan memberikan dampak yang positif bagi pertumbuhan ekonomi suatu daerah dan negara.

Sekalipun saya memahami bahwa pabrik yang telah memberikan dampak negatif terhadap lingkungan tak dapat ditutup begitu saja, saya selalu haus mencari tahu jalan terbaik untuk meminimalkan dampak negatif yang ditimbulkan oleh polusi dari aktivitas operasional pabrik. Hingga akhirnya saya mengenal skema pajak karbon sebagai solusi dari keresahan saya akan polusi yang ditimbulkan oleh aktivitas pabrik. 

Pajak merupakan kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sedangkan karbon atau emisi karbon merupakan peristiwa pelepasan karbon ke atmosfer pada area tertentu serta dalam jangka waktu tertentu. Dapat disimpulkan bahwa pajak karbon merupakan pajak yang dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif kepada lingkungan hidup. 

Skema pajak karbon merupakan salah satu bentuk dari pajak Pigouvian. Pajak Pigouvian merupakan pajak yang dikenakan untuk meminimalkan dampak negatif dari aktivitas ekonomi yang tak mempertimbangkan dampak sosial atau lingkungan. Konsep pajak Pigouvian pertama kali diusulkan oleh ekonom bernama Arthur Cecil Pigou pada tahun 1920 lewat bukunya yang berjudul, “The Economics of Welfare”.

Baca juga : Tahan Gejolak Ekonomi, Bitcoin Jadi Solusi Alternatif Investasi

Di tengah-tengah meningkatnya permasalahan iklim akibat polusi karbon yang tak terkendali, pajak karbon hadir sebagai kunci penting dalam menekan tingkat polusi yang diakibatkan oleh aktivitas perekonomian. Tak hanya dipercaya dapat menekan tingkat polusi, pajak karbon juga dipercaya dapat menjadi salah satu sumber pendapatan negara yang kemudian dapat dialokasikan untuk memperbaiki perubahan lingkungan akibat polusi serta sebagai sumber dana untuk membiayai ragam proyek newrenewable energy (energi baru terbarukan).

Finlandia sebagai negara pertama yang menerapkan pajak karbon di awal tahun 1990 telah membuktikan efektivitas Pajak Karbon dalam menekan tingkat polusi. Hingga akhir tahun 2018, emisi karbon Finlandia telah mengalami penurunan yang sangat signifikan hingga 19,49 persen  Finlandia juga berhasil membuktikan bahwa penerapan Pajak Karbon tak hanya dapat menekan tingkat polusi, tetapi juga dapat memperluas pendapatan negara.

Per tahun 2013, diketahui bahwa Finlandia mampu memperoleh tambahan penerimaan pajak sebesar 800 juta dolar AS (Rp 12,648 triliun) dari pajak karbon (Carl dan Fedor. 2016) dan hingga tahun 2021 tarif pajak karbon di Finlandia menyentuh 73,02 dolar (Rp. 1.154.519) per ton CO₂ ekuivalen. Seiring dengan penerapan pajak karbon, Finlandia juga mengalami peningkatan pertumbuhan ekonomi lewat pertumbuhan produk domestik bruto sebesar 114 persen selama dua puluh tahun ke belakang (World Bank, 2020).

Dalam mekanisme pengenaan Pajak Karbon di Finlandia, pemerintah mengenakan pajak atas bahan bakar fosil yang menghasilkan emisi karbon, baik yang digunakan untuk sektor transportasi maupun sektor industri. Finlandia juga melakukan pengecualian atas sektor-sektor tertentu untuk menjaga kestabilan ekonomi. Adapun sektor yang dikecualikan adalah sektor industri manufaktur serta industri kayu. Pengecualian ini bertujuan untuk menjaga nilai produk dari sektor industri manufaktur Finlandia agar dapat bersaing di pasar internasional. Sebagai bandingan atas pembayaran pajak karbon, pemerintah Finlandia juga mengambil langkah untuk menurunkan pajak penghasilan masyarakat Finlandia agar beban pajak masyarakat terasa lebih ringan selagi kekurangan pajak dapat ditutup melalui penerimaan pajak karbon.

Di Asia Tenggara, Singapura tampil menjadi negara pertama yang menerapkan pajak karbon, yaitu pada tahun 2019. Pajak karbon di Singapura diperkenalkan sebagai bagian dari kebijakan Carbon Pricing Act 2019, yang bertujuan untuk mengurangi emisi karbon dari sektor industri dan transportasi. Pada awal pengenaannya, Singapura menetapkan tarif sebesar 5 dolar Singapura (Rp 53 ribu) untuk setiap metrik ton CO₂ yang dihasilkan. Pada tiga tahun awal pengimplementasiannya, Pemerintah Singapura mengambil kebijakan pemberian potongan pajak untuk mengurangi beban masyarakat akibat adanya kenaikan biaya listrik serta gas.

Baca juga : Pancasila Memperteguh Kesadaran Manusia Pada Puasa Ramadan

Hingga pada tahun 2022, pajak karbon telah mampu menekan hingga 80 persen tingkat polusi di Singapura. Melihat betapa suksesnya pajak karbon dalam menekan tingkat polusi, Pemerintah Singapura kemudian berencana untuk terus meningkatkan tarif pajak karbon di Singapura secara berkala hingga 80 dolar Singapura (Rp 937.899) pada tahun 2030 (Herdona, S.A. 2022).

Seiring dengan komitmen Indonesia dalam mewujudkan penekanan emisi karbon hingga 29 persen pada tahun 2030 (dalam Nationally Determined Contribution 2020-2030) serta target net zero emission pada 2050 (dalam Paris Agreement 2015), Pemerintah Indonesia telah menggodok regulasi yang mengatur tentang penerapan pajak karbon sebagai upaya menekan produksi karbon. Regulasi ini terkristalisasi di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang menyebutkan bahwa pajak karbon akan dikenakan atas pembelian barang yang mengandung karbon maupun akan dikenakan pada aktivitas yang menghasilkan emisi karbon.

Penerapan pajak karbon di Indonesia akan menggunakan skema Cap and Tax, skema yang menggabungkan mekanisme perdagangan karbon dan pengenaan pajak karbon. Artinya, perusahaan yang melebihi ambang batas produksi karbon dapat memilih untuk membeli Cap (jatah) karbon dari perusahaan yang belum melebihi ambang batas atau dapat melakukan pembayaran pajak karbon atas ambang batas yang telah dilewati (Tax). Mengacu pada UU HPP, diketahui bahwa Pemerintah Indonesia akan mengenakan tarif sebesar Rp 30.000 per ton CO₂

Akan tetapi, sangat disayangkan, penerapan pajak karbon di Indonesia yang telah direncanakan sejak tahun 2021 harus mengalami penundaan hingga tahun 2025 selagi menunggu kesiapan mekanisme pajak karbon yang ideal bagi Indonesia.

Belajar dari best practice yang telah dilakukan oleh ragam negara di dunia, skema pajak karbon sebagai solusi atas polusi yang terjadi di sebuah negara benar-benar dapat dirasakan manfaatnya dari sisi penekanan angka polusi, pemerluasan pendapatan negara, hingga pendorongan pertumbuhan ekonomi. Indonesia yang idealnya akan merealisasikan pajak karbon pada tahun 2025 juga diharapkan mampu mengikuti jejak keberhasilan dari setiap negara yang telah menerapkan pajak karbon. 

Baca juga : Puasa Beda Sudah Biasa

 Daftar Pustaka

 Carl, J., & Fedor, D. (2016). Tracking global carbon revenues: A survey of carbon taxes versus cap-and- trade in the real world. Energy Policy, 96, 50–77. https://doi.org/10.1016/j.enpol.2016.05.023

Herdona, S.A. (2022). Dianggap Sukses Tekan Emisi, Singapura Kembali Naikkan Pajak Karbon. https://news.ddtc.co.id/dianggap-sukses-tekan-emisi-singapura-kembali-naikkan-pajak-karbon-36172

World Bank. (2020). GDP (current US$) - Finland| Data. https://data.worldbank.org/indicator/NY.GDP.MKTP.CD?end=2020&locations=SE&name_ desc=false&start=2000

Bulan Lestari Yasinta Simatupang
Bulan Lestari Yasinta Simatupang
Bulan Lestari Yasinta Simatupang

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.