Dark/Light Mode

Paradoks Elektrifikasi Transportasi: Kendaraan Listrik dari Perspektif Lain

Sabtu, 20 April 2024 09:09 WIB
Buruh anak yang dipekerjakan di salah satu tambang di Kongo. (Foto: Aljazeera.com)
Buruh anak yang dipekerjakan di salah satu tambang di Kongo. (Foto: Aljazeera.com)

Belakangan ini, popularitas kendaraan listrik meningkat pesat sebab kehadiran kendaraan listrik diyakini mampu mengatasi permasalahan emisi gas rumah kaca. Namun, dibalik kecanggihannya, nyatanya proses produksi kendaraan listrik menyimpan fakta kelam. Ketidaksiapan infrastruktur sumber daya listrik ramah lingkungan dan belum matangnya teknologi elektrifikasi menyeret lingkungan dan sekelompok masyarakat di negara Kongo ke dalam krisis.

Peningkatan Penjualan Kendaraan Listrik

Antusiasme masyarakat terhadap kendaraan listrik terutama mobil listrik tengah mengalami peningkatan beberapa tahun terakhir. Sebagai contoh di negara Jepang, dilansir dari Asia Nikkei pada minggu (14/1/2024) penjualan mobil listrik di Jepang mengalami peningkatan sebesar 50% pada tahun 2023, yakni sebesar 88.535 unit. Capaian ini menjadi rekor baru sebab penjualan pada tahun-tahun sebelumnya hanya berkisar 50.000 sampai 60.000 unit saja. 

Tren kenaikan ini ternyata juga terjadi di Indonesia. Menurut data Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil listrik di Indonesia pada tahun 2023 mengalami kenaikan sebesar 65,22% dengan jumlah unit terjual dari Januari hingga Desember mencapai 17.062 unit. Jumlah tersebut lebih banyak dari pencapaian tahun 2022 yang hanya terjual sebanyak 10.327 unit. Meskipun angka penjualan belum sebanyak Jepang, hal ini merupakan salah satu pencapaian besar dalam industri mobil listrik di Indonesia. 

Baca juga : Pemerintah Lindungi Industri Dalam Negeri

Kehadiran kendaraan listrik digadang-gadang bakal menjadi solusi terhadap permasalahan-permasalahan lingkungan yang ditimbulkan kendaraan berbahan bakar fosil. Permasalahan-permasalahan yang menjadi kekhawatiran besar saat ini antara lain polusi, emisi karbon, dan kelangkaan minyak bumi. Kendaraan listrik dianggap lebih efektif sebab kendaraan listrik dapat mengonversi sekitar 80% energi dari baterai litium menjadi gerakan. Berbeda dengan kendaraan berbahan bakar fosil, energi dari hasil pembakaran yang dapat dikonversi menjadi gerakan hanya sekitar 12-30%. Proses konversi energi pada mobil listrik juga tidak melalui proses pembakaran sehingga tidak menimbulkan asap yang menjadi cikal bakal polusi udara dan pemanasan global.

Namun, perihal elektrifikasi transportasi,  ketidaksiapan insfrastruktur sumber daya listrik ramah lingkungan dan teknologi yang belum matang nyatanya malah  membawa dampak buruk baik bagi manusia dan lingkungan. Situasi ini justru berbalik dan menimbulkan sebuah paradoks baru tentang elektrifikasi transportasi. 

Ketersediaan Listrik Masih Dipasok Oleh PLTU

Faktanya kendaraan listrik tidak sepenuhnya zero emmision. Kendaraan listrik memang tidak menghasilkan asap. Akan tetapi, untuk saat ini, ketersediaan listrik untuk proses manufaktur  sebagian besar masih dipasok oleh Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Pembangkitan listrik dengan tenaga uap dilakukan dengan cara memanaskan air hingga menguap kemudian tekanan uap panas digunakan untuk memutar turbin dan generator untuk menghasilkan listrik. Proses pemanasan air umumnya dilakukan dengan pembakaran batu bara yang mana proses tersebut tentunya menghasilkan asap polusi dan gas karbon pemicu pemanasan global. Untuk menciptakan kendaraan listrik yang sepenuhnya bersih, sumber listrik yang ramah lingkungan juga dibutuhkan. Apabila peningkatan minat masyarakat terhadap kendaraan listrik tidak diiringi dengan perkembangan infrastruktur pembangkit listrik yang ramah lingkungan, maka sama saja kehadiran kendaraan listrik hanya akan memperburuk kesehatan lingkungan. 

Baca juga : PLN Icon Plus Perkuat Konektifitas dan Digitalisasi

Permasalahan Tambang: Kerusakan Lingkungan hingga Eksploitasi Anak di Kongo

Mobil listrik, seperti yang sudah diketahui, memanfaatkan baterai Lithium-Ion sebagai sumber energi. Baterai tersebut mengandung berbagai logam seperti litium, nikel, dan kobalt. Logam-logam tersebutlah yang menjadi komponen utama dalam pembuatan baterai. Keberadaan nikel yang sangat melimpah di Indonesia sebetulnya dapat menjadi peluang besar dalam industri baterai.  Nikel banyak ditemukan di hutan hujan di Indonesia. Namun,   metode yang digunakan dalam proses penambangan nikel adalah horizontal surface mining yang mana hal tersebut berarti harus mengorbankan wilayah hutan hujan untuk dijadikan tambang terbuka. Hal tersebut bukan merupakan pilihan yang tepat mengingat hutan hujan merupakan area yang sangat vital bagi keberlangsungan hidup di bumi. Deforestasi hutan hujan hanya akan memicu pemanasan global menjadi makin parah. Kerusakan lingkungan akibat penambangan nikel nyata adanya di Indonesia, salah satunya yang terjadi di Pulau Lebengki, Sulawesi Tenggara. Air laut yang dulunya jernih kini menjadi keruh akibat tercemar limbah dari aktivitas tambang nikel di Kabupaten Konawe Utara. Hal ini juga berdampak pada sektor pariwisata mengingat Pulau Lebengki terkenal dengan wisata bawah lautnya. 

Selain Nikel komponen utama penyusun baterai yang lain adalah litium. Lebih dari separuh jumlah litium yang ada di bumi ditemukan di daerah yang dikenal sebagai “Segitiga Litium”. Daerah tersebut meliputi tiga negara, yakni Argentina, Bolivia, dan Chili. Proses penambangan litium menurut Institute of Energy Research dilakukan dengan cara ekstraksi melalui proses penguapan yang membutuhkan air dalam jumlah yang sangat besar. Setiap satu ton litium, air yang digunakan untuk proses ekstraksi adalah sekitar 500.000 galon air. Penambangan yang dilakukan secara masif dapat menyebabkan krisis air di sekitar daerah tambang. Selain itu, apabila air yang sudah digunakan untuk proses ekstraksi tidak diolah dengan baik, hal tersebut dapat mencemari lingkungan dan sumber air di daerah tersebut.

Permasalahan terkait tambang ternyata tidak menyangkut soal lingkungan saja, tetapi juga masalah sosial dan hak asasi manusia. Di Kongo misalnya, sebagai salah satu negara dengan sumber daya kobalt terbesar di dunia, Kongo telah lama menjadi pengekspor kobalt untuk memenuhi sekitar 70% kebutuhan kobalt di dunia. Salah satunya untuk kebutuhan pembuatan baterai kendaraan listrik. Kekayaan tersebut nyatanya tidak membuat masyarakat Kongo menjadi sejahtera sebab kekayaan sumber daya tersebut sebagian besar masih dikuasai pihak asing. Sangat disayangkan Kongo justru dikategorikan sebagai salah satu negara termiskin di dunia. Demi menyambung hidup, banyak masyarakat Kongo yang bekerja sebagai buruh tambang. Lebih mirisnya lagi, demi membantu orang tua mereka, banyak anak-anak yang turut serta dalam kegiatan menambang ini. Tanpa menggunakan alat perlindungan diri yang memadai, lebih dari 40.000 anak-anak terpaksa bekerja hingga 12 jam dan hanya menerima upah sekitar $1 hingga $2 per hari. Hal ini sangatlah berbahaya bagi kesehatan anak-anak di sana mengingat kobalt merupakan logam yang bersifat toksik. Kekerasan fisik yang kerap didapat dari petugas keamanan pabrik makin memperburuk kasus eksploitasi anak di Kongo. Kasus ini sebenarnya sudah lama menjadi kontroversi, bahkan UNICEF pernah menyorot kasus ini pada 2012 silam. Sayangnya masih banyak pihak yang tutup mata terkait kasus ini, termasuk pihak perusahaan-perusahaan kobalt di Kongo itu sendiri.

Baca juga : RI Produksi Baterai, Harga Mobil Listrik Bisa Makin Murah

Kemajuan teknologi sudah sepatutnya memberi manfaat bagi seluruh elemen kehidupan di bumi. Mengingat perkembangan teknologi kendaraan listrik masih tergolong baru, wajar apabila dampak positifnya belum bisa dirasakan oleh semua orang. Hal yang seharusnya dilakukan sebagai masyarakat yang bijak dan beradab adalah terus mengawal perkembangan teknologi dan peka terhadap permasalahan yang ditimbulkan olehnya. Berani mengambil langkah tegas merupakan salah satu tindakan yang baik dalam menyikapi sebuah penyimpangan. Dengan memaksimalisasi sumber tenaga listrik ramah lingkungan seperti PLTS, PLTA, dan PLTB dan penerapan teknologi green mining dalam aktivitas tambang-menambang, bukan tidak mungkin apabila   cita-cita menciptakan ekosistem bumi yang lebih baik melalui elektrifikasi transportasi akan segera tercapai dalam waktu dekat. 

Faizal Nur Ardiansyah
Faizal Nur Ardiansyah
Faizal Nur Ardiansyah

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.