Dark/Light Mode

Jangan Cepat Puas, Kinerja Industri Belum Optimal

Selasa, 23 Maret 2021 14:10 WIB
Ekonom Universitas Nasional Jakarta Prof. I Made Adnyana. (Foto: Ist)
Ekonom Universitas Nasional Jakarta Prof. I Made Adnyana. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemerintah diminta tidak berpuas diri dengan kinerja neraca perdagangan yang kinclong sejak awal hingga Februari 2021 terus menunjukkan surplus.

Hal ini karena belum optimalnya industri pengolahan nasional memanfaatkan kapasitas produksi seperti terlihat dari penurunan nilai impor non migas, khususnya untuk sektor mesin, dan peralatan mekanis.

Ekonom Universitas Nasional Jakarta Prof. I Made Adnyana mengakui kinerja neraca perdagangan yang surplus 2 miliar dolar AS pada Februari 2021 melanjutkan tren positif sejak Mei 2020. Namun ia menyoroti data impor non migas yang sudah membaik di posisi 11,78 miliar dolar AS namun masih belum pulih dari posisi Desember sebesar 12,96 miliar dollar AS.

"Dibanding Januari 2021, volume impor mesin dan peralatan mekanis masih mengalami penurunan (-2,62 persen) demikian juga nilainya (-4,21 persen). Ini menunjukkan sektor industri manufaktur masih belum optimal menyerap bahan baku untuk ekspor," katanya dalam sebuah diskusi online yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Sosial Politik (PKSP) Universitas Nasional, Jakarta, Selasa (23/3).

Baca juga : Mengapa Pesantren Begitu Penting?

Adnyana menilai, industri pengolahan masih memberikan kontribusi ekspor terbesar yaitu 12,15 miliar dolar AS atau 79,57 persen dari total ekspor dan menunjukkan kenaikan 1,38 persen  dibanding Januari 2021.

Namun, kalau dirinci lebih dalam sesuai sub sektor terlihat adanya kecenderungan penurunan kontribusi dari sektor industri pengolahan, seperti lemak dan minyak/hewan nabati (-30,30 persen), mesin dan peralatan mekanis (-4,35 persen), alas kaki (-1,63 persen), dan logal mulia, permata/perhiasan (-1,54 persen).

Ia juga menyoroti menurunnya ekspor berbagai produk kimia yang angkanya cukup tinggi yaitu minus 24,94 persen dari sisi volume dan minus 25,48 persen dari sisi nilai. Demikian pula besi dan baja yang turun cukup tinggi, yaitu 11,43 persen (volume) dan 14,95 persen (nilai).

Adnyana mengingatkan agar hati-hati dalam membaca data statistik karena nilai surplus tidak selalu memberikan kabar gembira, sebagaimana data BPS Februari 2021, yang secara tidak langsung menunjukkan data belum pulihnya kontribusi sektor industri manufaktur.

Baca juga : Kunjungi Jepang, Menperin Bawa Pulang Rp 17 T Investasi Baru Industri Otomotif

Dosen Universitas Nasional Jakarta itu menyarankan Kementerian Perindustrian untuk melakukan kajian komprehensif terhadap masih belum optimalnya industri manufaktur baik dari sisi produksi maupun dari kemampuan daya saing di pasar global. Terlebih pemerintah sudah memberikan segalanya, mulai dari kemudahan berinvestasi, insentif pajak, dan kemudahan-kemudahan lain sebagaimana tertuang dalam UU Cipta Kerja.

"Pandemi memang tidak bisa dihindari tapi dunia terus bergerak, kita harus segera bangkit untuk kembali menguasai pasar dunia," tegasnya.

Ketua Departemen Hubungan Internasional Universitas Hasanuddin Makassar, Darwis menyoroti ketimpangan pasar penyerap produk ekspor komoditas Indonesia yang menumpuk pada 3 negara besar, yaitu China (20,50 persen), Amerika Serikat (12,92 persen), dan Jepang (8,35 persen).

Padahal, kata Darwis, banyak negara dengan penduduk besar seperti India, negara-negara di Timur Tengah, atau negara-negara di Afrika yang sesungguhnya sangat potensial untuk pemasaran komoditi dan produk ekspor Indonesia.

Baca juga : Rayakan Satu Tahun di Indonesia, Resso Dukung Industri Musik

"Mie instan, otomotif dan suku cadang, kelapa sawit, karet dan barang dari karet, juga busana muslim sangat potensial untuk pasar negara-negara muslim di Asia, Timur Tengah, dan Afrika," tuturnya.

Ia berharap Kementerian Perdagangan bersama dengan Kementerian Luar Negeri harus bekerja keras membuka akses pasar bagi produk-produk Indonesia ke negara-negara tersebut meskipun harus menghadapi tantangan produk sejenis dari China, India, dan Vietnam. "Mereka bisa jual produk bagus dengan harga murah, mestinya kita juga lebih bisa," ucapnya. [KPJ]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.