Dark/Light Mode

Maknai Tahun Baru Hijriah Dengan Pengamalan Agama Inklusif dan Toleran

Kamis, 20 Juli 2023 15:37 WIB
Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) Ngatawi Al-Zastrouw (Foto: Istimewa)
Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) Ngatawi Al-Zastrouw (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Tahun baru hijriah merupakan pengingat bagi umat Islam agar selalu berproses meningkatkan kualitas diri. Hijrahnya Nabi Muhammad SAW menuju Madinah membawa perubahan positif terhadap kehidupan kaum Muhajirin sebagai pendatang dan kaum Anshor sebagai penolong mereka.

Dari hijrah itu, Nabi Muhammad bisa membangun masyarakat yang beradab dan toleran, walaupun di Madinah terdapat berbagai suku, agama, dan golongan. “Makna hijrah adalah konsistensi pada perjuangan yang menghargai proses,” kata Kepala Makara Art Center Universitas Indonesia (MAC UI) Ngatawi Al-Zastrouw, dalam keterangan yang diterima redaksi, Kamis (20/7).

Ia menerangkan, banyak peristiwa monumental yang terjadi pada Bulan Muharram. Salah satunya adalah perjalanan hijrah Nabi Muhammad dari Mekkah ke Madinah. Banyaknya peristiwa besar dalam ajaran Islam yang terjadi pada Muharram membuat para Sahabat Nabi dan ulama bersepakat, terutama Umar bin Khattab, bahwa tahun baru Hijriah dimulai pada 1 Muharram.

Dia menerangkan, semangat berhijrah selayaknya dilakukan dengan tidak melakukan perlawanan frontal hingga merusak tatanan sosial yang ada. Segala perjuangan itu harus dilakukan dengan cara yang baik, strategis, dan melalui perhitungan-perhitungan yang matang, baik perhitungan rasional, material, maupun situasional.

Baca juga : Ratusan Petani Serta UMKM Belitung Dan Yogyakarta Ikuti Pelatihan Kewirausahaan

"Jangan karena mau hijrah, terus kemudian menabrak lingkungan, aturan, hukum alam, hukum sosial, atau norma yang berlaku. Nabi Muhammad telah memberikan contohnya,” terangnya.

Ngatawi menyebutkan, ada tiga makna dari semangat hijrah. Pertama, perjuangan itu harus dilakukan dengan menanggung risiko, baik fisik maupun non-fisik. Kedua, perjuangan itu harus melalui proses, baik proses sosial maupun kultural. Ketiga, perjuangan membutuhkan konsistensi dan komitmen, karena tidak ada perjuangan yang instant.

Ia lalu mengomentari fenomena “hijrah milenial” yang sempat booming beberapa tahun terakhir. Seharusnya, hijrah milenial dalam skup format atau bentuk itu sangat relevan dengan realita saat ini. Pada praktiknya, tidak semua aktualisasinya atau pengamalannya itu sesuai dengan keadaan.

“Bahwa dalam agama ada simbol, mekanisme, dan ritual tertentu, iya. Tetapi sikap hijrah yang kemudian hanya berpaku kepada hal-hal yang sifatnya simbolik formal, ini yang membuat agama menjadi alat segregasi sosial. Sebagai jika ada yang tidak sesuai dengan simbol atau pemikirannya, akhirnya dikucilkan atas nama hijrah milenial, ini yang tidak sesuai,” imbuh Ngatawi.

Baca juga : Ganjaran Buruh Berjuang Adakan Pelatihan Medsos Buat Bisnis dan Usaha

Budayawan yang aktif sebagai dosen Pascasarjana di Sekolah Tinggi Agama islam Nahdlatul Ulama (STAINU) Jakarta ini menambahkan, proses hijrah yang didasari semangat positif, sebenarnya bisa saja dilakukan dengan cara yang menyenangkan.

“Beberapa komunitas anak muda juga ada yang memakai tagline hijrah milenial seperti yang dilakukan teman-teman KOMUJI (Komunitas Musisi Ngaji) misalnya. Hanan Attaki juga ketika baru-baru ini dia berkumpul dengan ulama-ulama NU, dia menyadari bahwa ajaran dan spirit agama bisa dilakukan dengan pendekatan yang lebih fungsional dan menyenangkan, tanpa mengabaikan simbolisme dan ritualisme agama,” sambungnya.

Ngatawi menegaskan, gerakan hijrah milenial itu akan menjadi kontekstual dengan realitas yang ada sekarang, selama dia bisa menghayati dan memahami persoalan-persoalan khilafiyah (perbedaan tafsir) yang ada di dalam Islam. Setelah itu, bisa mendudukan persoalan secara tepat, sehingga bisa membawa manfaat yang lebih luas.

“Harapannya, orang yang mengaku telah berhijrah bisa menampilkan sikap beragama yang lebih inklusif, toleran, moderat dan maslahah,” terangnya.

Baca juga : Gardu Ganjar Bersama Warga Gelar Gema Dzikir Di Tangerang

Ketua Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia Lesbumi(Lesbumi) Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) periode 2004-2015 ini berpesan, spirit hijrah harus bisa menjebol sekat dan dinding segregasi sosial yang ada di tengah masyarakat. Dengan adanya perkembangan teknologi saat ini, khususnya media sosial, jika tidak dikendalikan justru bisa menimbulkan perpecahan dan gesekan yang berpotensi memicu konflik horizontal.

“Dinding-dinding ini tidak terlihat, tapi ada. Tidak terwujud, tapi terasa. Ini adalah side impact dari perkembangan teknologi informasi, walaupun kita tidak pungkiri memiliki manfaat yang besar,” tegasnya. 

Ia berharap, pada tahun baru Hijriah ini, seluruh umat dan masyarakat Indonesia, khususnya generasi mudanya, mengikis segregasi sosial supaya kehidupan, interaksi, dan persaudaraan bangsa menjadi lebih kuat dan menyenangkan.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.