Dark/Light Mode

Merayakan Maulid untuk Menjiwai Islam yang Rahmatan Lil Alamin

Jumat, 29 September 2023 17:25 WIB
Guru Besar IAIN Palangka Raya, Prof Khairil Anwar (Foto: Istimewa)
Guru Besar IAIN Palangka Raya, Prof Khairil Anwar (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Perayaan Maulid adalah bentuk kecintaan umat Islam terhadap Nabi Muhammad SAW. Diutusnya Rasulullah ke muka bumi menjadi penanda berakhirnya zaman jahiliyah, karena Ia membawa risalah penuntun umat manusia. Tuntunan utama dari Nabi Muhammad SAW adalah bahwa dirinya diutus untuk memperbaiki akhlak manusia.

Membahas hal ini, Guru Besar Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Palangka Raya, Prof Khairil Anwar, menjelaskan bahwa Rasulullah SAW diutus tidak hanya untuk memperbaiki akhlak, namun juga menyempurnakannya.

“Rasulullah pernah bersabda bahwa Beliau sebagai penyempurna akhlak. Tidak hanya memperbaiki tapi juga menyempurnakan. Melihat situasi dan kondisi masyarakat kita sekarang, masih bahkan mungkin semakin terdegradasi akhlaknya, khususnya terjadi pada akhlak anak-anak muda kita. Inilah yang saya kira perlunya banyak keteladanan dari generasi sebelumnya,” ujar Khairil Anwar, dalam keterangan yang diterima redaksi, Jumat (29/9).

Dia menjelaskan, cara Nabi Muhammad SAW menyempurnakan akhlak umat manusia adalah dengan menjadi teladan yang baik atau uswatun hasanah. Makanya, masyarakat saat ini pun harus menjadi teladan yang baik, khusus bagi anak-anak muda. Keteladanan itu dapat mempengaruhi jiwa anak-anak dan masyarakat hingga 80 persen, sisanya sebanyak 20 persen adalah melalui nasihat.

Baca juga : Perayaan Maulid Nabi Muhammad, Ajang Silaturahmi dan Inklusivitas

“Jadi, nasihat atau ceramah itu tidak akan berarti tanpa adanya keteladanan, baik dari para pemimpin, pejabat, maupun orang tua. Keteladanan mereka semua akan dicontoh dan diikuti masyarakatnya, khususnya generasi muda. Jadi, perlunya kita sama-sama menyempurnakan akhlak masyarakat dengan memberikan teladan yang baik,” seru Khairil.

Selanjutnya, yang perlu diingatkan juga adalah bahwa Nabi Muhammad SAW diutus dengan agama yang lurus, ikhlas, dan penuh toleransi. Dalam konteks Indonesia, dengan masyarakatnya memiliki perbedaan budaya yang sangat beragam, perlu disikapi dengan rasa ikhlas, terutama ikhlas beragama semata-mata karena Allah.

“Jika seseorang bisa memiliki rasa ikhlas ketika beribadah pada Allah, maka ia pun akan bisa ikhlas dengan sesama manusia walaupun berbeda budayanya atau kepercayaannya,” ucap Khairil.

Menurutnya, umat manusia semuanya harus bisa menjadi pribadi yang toleran terhadap perbedaan, baik berbeda dengan sesama umat Islam, berbeda antar umat beragama, maupun antar umat beragama dengan Pemerintah.

Baca juga : Gebrakan Reformasi Birokrasi Ganjar Dinilai Layak Jadi Rujukan Nasional

“Itulah hikmah kita mengadakan Maulid Nabi. Selain membawa risalah Islam yang rahmatan al-alamin, Rasulullah juga ditugaskan untuk menyempurnakan akhlak manusia, serta mencontohkan rasa ikhlas dan toleransi dalam beribadah kepada Allah serta umat manusia secara keseluruhan,” ucap Khairil.

Khairil lalu menyinggung soal beberapa kalangan dari umat Islam yang menganggap perayaan Maulid bid’ah. Dirinya menjelaskan, yang berpikiran seperti ini sebenarnya belum mengetahui ajaran Islam secara komprehensif dan mendalam. Sejatinya perayaan Maulid dan Isra Mi’raj itu bukanlah bid'ah karena tidak ada prinsip beragama yang dilanggar.

Mantan Rektor IAIN Palangka Raya ini berpesan, sebagai umat Islam dan umat beragama secara keseluruhan, sejatinya harus memiliki karakter yang toleran terhadap perbedaan. Konsep moderasi beragama bisa dijalankan jika ujmat manusia itu bisa menerima segala perbedaan yang ada.

“Tentu toleransi yang dimaksud di sini adalah toleransi yang aktif. Maksudnya, walaupun kita berbeda agama atau suku, tidak hanya kita menghormati, namun juga kita harus bisa bekerja sama sepanjang tidak melanggar prinsip agama atau peraturan pemerintah yang sah,” tegas Khairil.

Baca juga : Jangan Cuma Belajar, Asah Kepemimpinan

Dia lalu memberikan perumpamaan dengan perbedaan antara Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah. Perbedaan dua kelompok ormas Islam ini bisa disikapi dengan mengatakan ‘lanaa a’maluna wa lakum a’malukum’, yang artinya ‘bagi kami amalan kami dan bagi kalian amalan kalian’. Intinya, silakan kerjakan ibadah sesuai dengan keyakinan masing-masing.

“Begitu juga jika terjadi perbedaan dalam pilihan politik, bisa disikapi dengan mengatakan ‘bagi kami partai kami, bagimu partai kamu.’ Banyak perbedaan lain yang juga bisa disikapi dengan cara yang sama. Jadi di suasana yang begitu banyak perbedaan, baik dari sisi politik, praktik ibadah, atau agama, saya kira itu harus bisa disikapi dengan saling menghormati, menghargai, dan bisa bekerja sama,” kata Prof Khairil, mengakhiri.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.