Dark/Light Mode

Carrie Lam Nyatakan RUU Ekstradisi Mati, Warga Hong Kong Tetap Tak Percaya

Selasa, 9 Juli 2019 12:46 WIB
Sorang pedagang di Hong Kong menonton tayangan TV yang menyiarkan pernyataan Carrie Lam soal RUU Ekstradisi, Senin (8/7).  (Foto: AFP/Getty Images)
Sorang pedagang di Hong Kong menonton tayangan TV yang menyiarkan pernyataan Carrie Lam soal RUU Ekstradisi, Senin (8/7). (Foto: AFP/Getty Images)

RM.id  Rakyat Merdeka - Setelah didera aksi protes dan kerusuhan selama beberapa pekan, Pemimpin Eksekutif Hong Kong Carrie Lam akhirnya menyatakan pembahasan Rancangan Undang-undang (RUU) Ekstradisi sudah mati. "Saya akui pembahasan rancangan undang-undang ini dinyatakan gagal total. Saya sampaikan maaf yang dalam, karena telah mengangkat isu ini pada 18 Juni lalu," ujar Carrie Lam dalam tayangan langsung di TV lokal, Senin (8/7).

Meski dinyatakan 'mati', Carrie Lam tidak dengan tegas menyatakan RUU ini dicabut seutuhnya. Massa pro-demokrasi Hong Kong yang menolak RUU Ekstradisi mengatakan, ucapan Carrie Lam "hanya pemanis sementara."

Lam menjamin, RUU ini akan kandas dengan sendirinya saat masa pemerintahannya selesai pada musim panas 2020. Namun, massa pro demokrasi menuntut pencabutan RUU Ekstradisi secara utuh. Menurut mereka, pernyataan 'mati' dari mulut Lam tidak menjamin RUU itu tidak akan diungkit di masa depan.

Keraguan publik soal RUU Ekstradisi ini mencuat di jagat Twitter. Aktivis pro demokrasi Joshua Wong mengatakan, Lam hanya menyampaikan kebohongan baru.

Baca juga : Ayam Jantan Diadili Gara-gara Berkokok Terlalu Keras

 "Cara yang benar bukan menyatakan RUU ini mati, tapi harus SECARA RESMI DICABUT dari draft pembahasan di legislator," cuit Wong dalam akun Twitternya.

Menurut Wong, berdasarkan Pasal 64, RUU masih akan bisa dilanjutkan sewaktu-waktu anggota legislatif merasa waktunya pas. "Lam hanya bermain kata-kata. RUU Ekstradisi masih bisa dilanjutkan," lanjut Wong.

Pentolan massa pro demokrasi Hong Kong lainnya yang juga seorang penyanyi, Denise Ho mendesak RUU Ekstradisi tersebut dicabut. "Jika belum dicabut, kami tidak akan tinggal diam," ujar Denise Ho, yang tengah membawa isu Hong Kong ke pertemuan Dewan Hak Asasi Manusia PBB di Jenewa, Senin (8/7).

Carrie Lam mengaku tulus dalam menyatakan RUU Ekstradisi tersebut sudah mati. "Saya sedih, masih saja ada keraguan soal ketulusan pemerintah, juga kekhawatiran soal apakah pemerintah akan memulai kembali proses ini di dewan legislatif," ujar Lam.

Baca juga : RUU Ektradisi Ditangguhkan, Demo Rakyat Hong Kong Sukses

"Jadi, saya tekankan di sini, tidak ada rencana seperti itu. RUU tersebut sudah mati," tegasnya seperti dikutip Channel News Asia dalam acara jumpa pers, Selasa (9/7).

RUU Ekstradisi yang memungkinkan orang-orang di Hong Kong dibawa ke China daratan untuk diadili, telah menyulut demonstrasi besar-besaran yang terkadang disertai kekerasan.

Perdebatan soal RUU tersebut juga menjebloskan wilayah bekas koloni Inggris itu ke jurang kekacauan. Sebelumnya, para pengunjuk rasa penentang RUU juga telah meminta Lam, untuk mengundurkan diri. Mereka mendesak penyelidikan independen segera digelar, untuk mengusut tindakan polisi terhadap para pengunjuk rasa.

Selain itu, pemerintah diminta untuk tidak menyebut protes yang disertai kekerasan pada 12 Juni sebagai kerusuhan.

Baca juga : Jutaan Rakyat Hong Kong Blokir Akses Gedung DPR

Hong Kong dikembalikan kepada China oleh Inggris pada 1997, dengan janji akan diberi otonomi sangat luas. Namun dalam beberapa tahun terakhir ini, publik Hong Kong khawatir kebebasan itu telah terkikis di tangan Beijing.

Krisis menyangkut RUU Ekstradisi merupakan tantangan terbesar yang pernah dihadapi Beijing dalam menguasai wilayah itu selama 22 tahun, yaitu sejak China daratan mendapatkan kembali kendali atas Hong Kong.

Hong Kong dikembalikan kepada China pada 1997 berdasarkan formula "satu negara, dua sistem", yang memungkinkan Hong Kong mendapat kebebasan yang tak bisa dinikmati di China daratan. Termasuk, hak menggelar unjuk rasa serta pengadilan independen.

Beberapa kalangan ahli hukum serta kelompok pembela hak asasi mengatakan, sistem peradilan China ditandai dengan penyiksaan, pemaksaan untuk mengaku, serta penahanan sewenang-wenang. Semua tuduhan itu dibantah Beijing. [DAY]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.