Dark/Light Mode

Berstatus Negara Middle Power, RI-Korsel Bisa Menjadi Kekuatan Penyeimbang

Kamis, 21 Desember 2023 06:04 WIB
Lokakarya Indonesia and Korea Middlepower-ship in Changing World yang digelar di Bengkel Diplomasi FPCI, Jakarta, Jumat (9/12/2023). Lokakarya ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia yang bekerja sama dengan Korea Foundation. (Foto FPCI)
Lokakarya Indonesia and Korea Middlepower-ship in Changing World yang digelar di Bengkel Diplomasi FPCI, Jakarta, Jumat (9/12/2023). Lokakarya ini digelar oleh Foreign Policy Community of Indonesia yang bekerja sama dengan Korea Foundation. (Foto FPCI)

RM.id  Rakyat Merdeka - Indonesia dan Korea Selatan (Korsel) sama-sama berstatus sebagai negara dengan kekuatan menengah atau middle power nation. Bukan negara adidaya seperti Amerika Serikat, Rusia, atau China, tapi juga bukan negara kecil. Meski begitu, negara kekuatan menengah dinilai mempunyai pengaruh yang signifikan di kancah global.

Indonesia misalnya, bisa menjadi juru damai atau jadi jembatan bagi negara-negara yang sedang bertikai dan memainkan peran penyeimbang di tengah dunia yang terpolarisasi. Demikian disampaikan Dosen Universitas Airlangga Radityo Dharmaputra saat menjadi pembicara dalam lokakarya bertajuk “Indonesia and Korea Middlepower-ship in Changing World” yang digelar di Bengkel Diplomasi FPCI, Jakarta, Jumat (9/12/2023).

Selain Radityo, hadir secara online Asisten Profesor di Departemen Studi Lintas Budaya dan Regional Universitas Kopenhagen, Dr Jin Sangpil. Lokakarya yang digelar Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) dan Korea Foundation ini diikuti 15 jurnalis yang tergabung dalam program Indonesian Next Generation on Korea Batch 3.

Baca juga : Lestari: Bangun Kembali Kesadaran Cegah Penyebaran Covid-19

Radityo menjelaskan, sebenarnya tak ada definisi baku mengenai negara dengan kekuatan menengah. Namun, secara umum biasanya memiliki tiga ciri, yaitu ekonomi yang cukup lumayan, jumlah penduduk yang besar, dan identitas yang kuat.

Menurut dia, Indonesia yang menganut politik luar negeri bebas aktif sudah memainkan peran sebagai negara middle power dengan cukup baik. Ia lalu menjelaskan sejumlah kebijakan luar negeri Indonesia di bawah arahan Presiden Jokowi.

Indonesia misalnya, senantiasa mendorong multilateralisme yang lebih inklusif dan setara, serta mendorong hak membangun bagi semua negara, serta menjadi penengah bagi negara yang bertikai. Indonesia juga bersikap tegas menghadapi tekanan negara lain. Radityo mencontohkan bagaimana Presiden Jokowi misalnya, tetap mengundang Presiden Rusia Vladimir Putin dalam pertemuan G20 di Bali, pada November 2022, meski mendapat penolakan dan ancaman boikot dari negara-negara di Eropa.

Baca juga : Investasi Dan Modernisasi: Menuju Kesejahteraan Serta Ketahanan Pangan

Presiden Jokowi juga menghadiri KTT BRICS (Brazil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan) yang digelar di Johannesburg, Afrika Selatan, Agustus lalu. Indonesia berbicara di forum tersebut, tapi tetap memilih tidak bergabung menjadi anggota BRICS.

Teranyar, Presiden Jokowi menyerukan pembelaan kepada Palestina dan meminta Israel menyetop serangan ke Gaza. Bahkan Jokowi menyampaikan langsung permintaan tersebut kepada Presiden Amerika Serikat Joe Biden, meski ditanggapi dingin.

“Tipikal negara middle power ialah berusaha menjadi mediator, dan cenderung menjadi jembatan besar antara dua pihak yang berseberangan atau bertikai,” kata Radityo.

Baca juga : KPK Bakal Gunakan UU Pencucian Uang

Langkah ini tentu berbeda dengan negara adidaya seperti Amerika Serikat atau Rusia yang bisa memaksakan kehendaknya kepada negara lain. Bahkan melakukan invasi untuk bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.