Dark/Light Mode
BREAKINGNEWS
- Menkes: Kesehatan Salah Satu Modal Utama Capai Target Indonesia Emas 2045
- Jangan Sampai Kehabisan, Tiket Proliga Bisa Dibeli di PLN Mobile
- Temui Cak Imin, Prabowo Ingin Terus Bekerjasama Dengan PKB
- Jaga Rupiah, BI Naikkan Suku Bunga 25 Bps Jadi 6,25 Persen
- Buntut Pungli Rutan, KPK Pecat 66 Pegawainya
Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU
RM.id Rakyat Merdeka - Keputusan Indonesia yang tegas untuk kasus Laut China Selatan terkait nine dash line, tampaknya membuat China kebakaran jenggot. Sampai-sampai, Media pemerintah Negeri Tirai Bambu itu, Global Times mempublikasikan tulisan yang isinya menuding Indonesia ada trik di balik sikapnya.
Publikasi itu bertanggal 4 Agustus. Ditulis Chen Hanping. Lengkap dengan analisanya A sampai Z atas sikap Indonesia itu. Tulisan itu terdiri dari 12 alenia. Ia mengkritik sikap Indonesia. Ujung-ujungnya Indonesia dituding memihak Amerika Serikat (AS). Di akhir alenia disebut, penulis adalah peneliti senior soal dan Studi Laut China Selatan di Universitas Nanjing.
Indonesia telah menyatakan, menolak/tidak mengakui peta nine dash line atau sembilan garis putus-putus. Dasar China mengklaim hampir semua jalur perairan di LCS. Kawasan perairan Natuna, Kepulauan Riau, masuk dalam klaim tersebut.
Lalu Indonesia, melalui Misi Tetap di PBB mengirim surat kepada Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada Mei lalu. Isinya, mengingatkan PBB, klaim maritim Beijing di Laut China Selatan tidak memiliki dasar hukum internasional, dan melawan Konvensi PBB 1982 tentang Hukum Laut (UNCLOS).
Posisi Indonesia terkait sengketa maritim Laut China Selatan jelas. Semua sengketa harus diselesaikan sesuai dengan UNCLOS 1982.
Indonesia tidak terlibat sengketa klaim pulau di Laut China Selatan. Namun, pernah bersitegang dengan Beijing ketika kapal-kapal penangkap ikan China muncul di perairan Kepulauan Natuna. Karena kapal-kapal itu masuk ke wilayah Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Baca juga : Minuman Kesehatan `SOPALPHA`, Sudah Hadir di Indonesia
Berbeda dengan beberapa rekan ASEAN, yakni Brunei, China, Taiwan, Malaysia, Filipina, dan Vietnam. Terdapat perebutan wilayah yang terjadi pada kepulauan Paracel dan kepulauan Spratly, serta perbatasan wilayah kelautan di Teluk Tonkin dan tempat-tempat lainnya.
Jadi meski sama-sama di Laut China Selatan, ada masalah yang berbeda yang ditanggapi dengan berbeda pula. Tidak dapat dicampur adukkan. Harus dipilah, apakah itu sengketa saling klaim wilayah yang terkait kedaulatan suatu negara. Atau wilayah maritim yang aturannya sudah ketuk palu 40 tahun silam.
Dalam laporan Global Times disebutkan, China tidak pernah mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Natuna. Jakarta dan Beijing, lanjut laporan itu, memiliki klaim yang tumpang tindih hanya pada ZEE.
"Tetapi alasan mengapa Indonesia memainkan trik semacam itu tidaklah mengejutkan," tulis media tersebut.
Media tersebut menganalisa ada apa di balik sikap Indonesia. Pertama, Indonesia menghadapi tekanan yang belum pernah terjadi sebelumnya, di saat pandemi Covid-19. Pemotongan anggaran pertahanan Indonesia, tulisnya, telah melemahkan kemampuan militer di Laut China Selatan termasuk Kepulauan Natuna.
Indonesia memang mengumumkan akan memangkas anggaran pertahanannya tahun ini hampir 588 juta dolar AS atau Rp 8,34 triliun karena Covid-19. Ini akan mengurangi jumlah dan frekuensi pelayaran, patroli, dan latihan militer Angkatan Laut Indonesia.
Baca juga : Perkuat Pertahanan di Perbatasan!
"Sistem militer dan kepolisian Indonesia khawatir bahwa negara tersebut akan kehilangan kekuatan sebelumnya untuk melindungi hak-haknya di laut," lanjut media itu.
Karena alasan itu, urai Global Times, sejak paruh kedua 2019 Indonesia tetap fokus pada masalah Laut China Selatan. Presiden Indonesia Joko Widodo dan pejabat militer tingkat tinggi telah berulang kali pergi ke Kepulauan Natuna untuk menyatakan kedaulatannya.
Alasan kedua, Indonesia salah menilai situasi ketika mencoba mengambil keuntungan dari kasus arbitrase di Laut China Selatan yang diprakarsai Filipina empat tahun lalu.
"Indonesia mencoba menggunakan pernyataan agresif yang dibuat Menteri Luar Negeri Amerika Serikat (AS) Michael Pompeo tentang Laut China Selatan pada 13 Juli untuk membenarkan putusan ilegal 2016 oleh Pengadilan Arbitrase Permanen dan untuk menyelesaikan perselisihan yang ada di sekitar Kepulauan Natuna," imbuh laporan Global Times.
Alasan ketiga, Indonesia menarik investasi asing ke Kepulauan Natuna. Pada Januari, Jokowi dan Menteri Luar Negeri Jepang Toshimitsu Motegi memperkuat perjanjian investasi di bidang perikanan, energi dan pariwisata di Kepulauan Natuna, dan kemudian Indonesia terlihat memperkuat posisi di Laut China Selatan.
Sikap Indonesia telah direspons juru bicara Menteri Luar Negeri China Hua Chunying yang mengatakan, misi permanen China untuk PBB telah mengkomunikasikan posisi Beijing di Laut China Selatan kepada Sekretaris Jenderal PBB.
Baca juga : Elite Hanura Bicara Peluang Indonesia
Masih publikasi media itu, usulan Indonesia bahwa perselisihan laut harus diselesaikan sesuai dengan UNCLOS sebenarnya tidak masuk akal.
"Salah satu masalah adalah konvensi datang lebih lambat dari klaim kedaulatan China. Yang lain adalah bahwa beberapa negara bukan penandatangan UNCLOS. Tetapi mereka dengan konyol meminta orang lain untuk mematuhi konvensi," tulisan itu lagi.
kemudian tulisan itu membandingkan dengan sikap Filipina dan Vietnam. Katanya, Filipina dan Vietnam terlibat sengketa serius dengan China, tapi tidak memihak AS pada masalah Laut China Selatan.
Media itu juga menyinggung pidato Presiden Filipina Rodrigo Duterte 27 Juli lalu. Duterte dengan tegas menunjukkan bahwa Filipina akan terus mengambil kebijakan luar negeri yang independen. Duterte mengatakan, Filipina itu tidak akan memainkan "umpan meriam" AS atau menghadapi China terkait masalah Laut China Selatan.
"Ini menunjukkan bahwa kebijakan membangun kemitraan yang bersahabat dengan negara-negara tetangga daripada menerapkan kebijakan pengemis-tetangga Anda yang tidak hanya dapat memaksimalkan kepentingan nasional, tetapi juga menghindari keterlibatan dalam perselisihan di antara negara-negara besar. Filipina dan Vietnam telah membuat pilihan yang tepat. Ini layak untuk refleksi bagi pihak berwenang Indonesia," tandas Global Times. [MEL]
Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News
Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.
Tags :
Berita Lainnya