Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Menggapai Kesejukan Beragama (19)

Makna Hidup Beragama

Minggu, 6 Oktober 2019 08:16 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Memaknai secara luhur kehidupan beragama terasa perlu untuk kita renungkan bersama. Kehidupan kontradiktif atas nama agama terjadi di dalam masyarakat kita sepertinya sedang terjadi pergeseran.

Makna kehidupan beragama sepertinya untuk menggambarkan sebuah sikap yang marah atau tidak senang terhadap orang atau kelompok orang yang menjadi sasaran dakwah kita.

Perlu kita ingat, berdakwah artinya mengajak orang jauh untuk mendekat, bukannya mengusir orang-orang yang sudah mendesak.

Hakekat keberadaan umat beragama, agama apapun yang kita anut, ada baiknya kita menghayati tujuh ayat dari surah al-Ma’un sebagai berikut: “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?

Baca juga : Membaca Trend Kelompok Radikal (2)

Itulah orang yang menghardik anak yatim. Dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin. Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang salat. (yaitu) orang-orang yang lalai dari salatnya. Orang-orang yang berbuat ria. Dan enggan (menolong dengan) barang berguna”. (QS. Al-Ma’un/107:1-7).

Surah ini diawali dengan kalimat bertanya. Kaedah tafsir mengatakan jika sebuah surah atau ayat diawali dengan kalimat bertanya pasti ada sesuatu yang amat substansil dan bersifat kontemporer yang akan diungkap Tuhan di dalamnya.

Surat dengan ayat-ayatnya di atas menegaskan kepada kita makna dan hakekat keberagamaan di dalam diri kita.

Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa dengan selesainya kita menunaikan ibadah formal atau ibadah mahdhah, otomatis segala urusan kita terhadap agama selesai.

Baca juga : Membaca Trend Kelompok Radikal (1)

Keberhasilan keberagamaan kita ternyata diukur dengan hal-hal yang bersifat sosial kemasyarakatan, yaitu sikap kita terhadap anak yatim piatu, fakir-miskin, dan problem sosial lainnya.

Orang yang hanya mengutamakan ibadah ritual tanpa melahirkan makna dan efek sosial ternyata tidak ada artinya. Segalanya baru berarti setelah diuji di dalam realitas kehidupan kita sehari-hari.

Jika seseorang masih belum concern dan prihatin terhadap nasib orang pinggiran dan kaum yang tertindas dan didhalimi, sebagaimana disebutkan ayat di atas, maka kita dianggap kita sebagai orang yang beragama secara bohongbohongan, palsu, dan kamuflase.

Menjalin hubungan vertikal dengan Tuhan saja tidak cukup, melainkan harus direalisasikan dalam hubungan horizontal yang cukup pula, dalam wujud berbuat baik kepada mereka yang memerlukan perhatian khusus.

Baca juga : Interaksi Hukum Positif dan Hukum Agama

Siapapun kita dan apapun kapasitasnya pasti memiliki kekuatan untuk membantu dengan sesama, minimal dalam bentuk doa.

Surah di atas lebih tegas menganggap orang-orang yang shalat tidak ada artinya atau percuma jika sikap mentalnya masih suka mendemonstrasikan kemewahan dan kelebihannya di tengah orang-orang yang masih memprihatinkan.

Sama dengan orang-orang yang enggan atau tidak concern dan tidak mempunyai kepekaan sosial. Mereka memiliki sesuatu yang lebih tetapi tidak pernah berbagi dengan yang lain.

Mereka yang merasa cukup dengan hubungan formalnya dengan Allah tetapi tidak mau tahu penderitaan orang lain, inilah yang disebut terkecoh dan dianggap orang beragama secara palsu. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.