Dark/Light Mode

Menggapai Kesejukan Beragama (17)

Interaksi Hukum Positif dan Hukum Agama

Kamis, 3 Oktober 2019 07:03 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Banyak UU dalam masa sidang terakhir anggota DPR ditetapkan. Di antaranya ada yang menuai protes masyarakat, seperti KUHAP.

Reaksi masyarakat khususnya kalangan mahasiswa terhadap sejumlah RUU akhir-akhir ini tergolong cukup besar dan memprihatinkan.

Paradigma kesadaran baru dalam beragama ikut serta menjadi pemicu terhadap protes tersebut.

Hukum dan perundang-undangan negara dan hukum agama (Syari’ah) yang selama ini selalu harmonis tiba-tiba muncul sebuah situasi disharmoni antara keduanya.

Baca juga : Menghitung Kelas Menengah Santri

Apakah ini murni disebabkan karena substansi RUU yang memang dinilai bermasalah atau RUU itu hanya dianggap sebagai sasaran antara untuk tujuan lain, Allahu a’lam.

Gagasan untuk mewujudkan hukum Syari’ah sebagai salah satu unsur penting di dalam hukum nasional dan keinginan Negara mengakomodir anasir hukum agama, termasuk syari’ah, muncul sejak awal terbentuknya negarai ini.

Bangsa Indonesia yang dipadati umat Islam tentu tidak bisa dipisahkan dengan hukum-hukum agamanya.

Karena itu, politik hukum Islam selalu menjadi isu di dalam Pembinaan Hukum nasional. Khusus agama Islam yang memiliki kompleksitas ajaran yang meliputi seluruh aspek kehidupan.

Baca juga : Mereaktualisasi Tradisi Keagamaan

Mulai dari sistem teologi sampai sistem perilaku yang lebih rinci, hingga mengatur masuk ke kamar kecil dengan kaki kiri dan keluar dengan kaki kanan.

Dari kehidupan yang sangat pribadi seperti teknik berhubungan suami isteri sampai tata-cara pemilihan pemimpin bangsa.

Dari urusan yang sangat lahiriah seperti tata-cara mandi junub sampai urusan yang sangat spiritualbatiniah seperti larangan menyekutukan Tuhan di dalam hati.

Kekhususan hukum Islam ini membuat repot pemerintah kolonialisme Belanda untuk melakukan unifikasi apalagi kodifikasi hukum nasional.

Baca juga : Menjadikan Agama Sebagai Faktor Sentripetal (1)

Usaha untuk mewujudkan satu sistem hukum dalam wilayah kepulauan Nusantara yang berada di bawah kekuasaan pemerintah kolonial Belanda sudah pernah dirintis sejak Van de Putte menjadi Menteri Kolonial Belanda untuk Indonesia pada tahun 1870.

Untuk memudahkan kontrol warga masyarakat jajahannya, maka pemerintah kolonial selalu berusaha menciptakan suatu sistem hukum secara nasional.

Usaha ini lebih kongkrit lagi ketika Cowan menjadi Direktur Justisi yang ditugasi untuk memyususn Burerlijk Wetboek (BW) pada tahun 1923.

Berkat usaha keras Van Vollen Hoven dan muridnya, Van den Berg, yang diberi tugas untuk menyusun hukum BW ini, maka akhirnya berhasil, dan sampai kini kita bisa menyaksikan jejaknya di dalam hukum perdata kita hingga saat ini. ***

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.