Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Antisipasi Varian Omicron

Prof. Tjandra Minta Masa Karantina Diperpanjang, Whole Genome Sequencing Digenjot

Minggu, 28 November 2021 13:29 WIB
Prof. Tjandra Yoga Aditama (Foto: Dok. Pribadi)
Prof. Tjandra Yoga Aditama (Foto: Dok. Pribadi)

RM.id  Rakyat Merdeka - Mantan Direktur Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Asia Tenggara, Prof. Tjandra Yoga Aditama menyoroti perkembangan varian B.1.1.529, yang telah diberi nama Omicron.

Menurutnya, berita tentang Omicron terus berkembang cepat. Setidaknya dalam tiga hal.

Pertama, dalam beberapa minggu ini, jumlah kasus naik tajam di hampir semua provinsi Afrika Selatan. Kedua, kalau tadinya di Eropa, hanya di temukan di Belgia, maka sejak kemarin bertambah 3 negara lain. Yakni Jerman, Inggris dan Italia. Menyusul Israel dan Hongkong. Sudah lintas benua.

"Bukan tidak mungkin, varian ini juga akan menyebar ke negara-negara lain di dunia dalam hari-hari mendatang. Pakar Amerika Serikat Dr Anthony Fauci juga mengatakan, bukan tidak mungkin varian baru ini akan ada di Amerika juga," kata Prof. Tjandra dalam keterangannya, Minggu (28/11).

Ketiga, WHO cepat sekali mengelompokkan Omicron sebagai variant of concern (VOC), kelompok kewaspadaan tertinggi.

Baca juga : Saran Prof Tjandra: Gencarkan 3T, Segerakan Whole Genome Sequencing

Varian ini baru pertama kali ada dan terkonfirmasi pada 9 November 2021. Tanggal 26 November, WHO sudah menggolongkannya dalam VOC.

"Jadi, jarak antara virus ditemukan dengan dinyatakan sebagai VOC hanya 17 hari saja. Bandingkan dengan varian Delta yang sudah banyak makan korban di dunia dan juga di negara kita," papar Guru Besar Universitas YARSI/Universitas Indonesia ini.

Varian Delta pertama kali dilaporkan pada Oktober 2020. Baru 6 bulan kemudian dinyatakan sebagai VOI.

Kemudian, pada 11 Mei 2021, diklasifikasi sebagai VOC. Atau berselang 7 bulan sejak pertama kali terdeteksi.

"Untuk negara kita, memang sudah ada Surat Edaran Dirjen Imigrasi yang isinya antara lain menyebutkan penolakan masuk sementara  ke wilayah Indonesia  bagi orang asing yang pernah tinggal dan/atau menunjungi wilayah Afrika Selatan, Botswana, Namibia, Zimbabwe, Lesotho, Mozambik, Eswatini, dan Nigeria dalam kurun waktu 14 hari sebelum masuk Indonesia," beber Prof. Tjandra.

Baca juga : Antisipasi Bencana, Laut Pangandaran Dipasangi Alat Deteksi Tsunami

Terkait hal tersebut, Prof. Tjandra mengingatkan empat hal yang patut menjadi perhatian.

Pertama, untuk mereka yang sudah masuk Indonesia dalam beberapa hari ini dan masih dalam karantina, maka sebaiknya karantinanya diperpanjang menjadi satu atau dua minggu  "Karantina tiga hari tentulah tidak cukup," tegasnya.

Kedua, mengingat adanya pengecualian untuk orang asing yang akan mengikuti pertemuan terkait G20 dalam Surat Edaran Dirjen Imigrasi, maka mereka juga tentu harus menjalani pemeriksaan ketat. Serta menjalani masa karantina yang memadai.

Ketiga, harus diingat, bahwa mungkin saja sebelum tanggal 26 November, sudah ada warga asing dari 8 negara itu yang masuk ke Indonesia.

Mungkin dalam 2 minggu terakhir ini, yang bukan tidak mungkin sudah pernah terpapar varian baru tersebut.

Baca juga : Airlangga: Presiden Minta Serapan Dana Penanganan Covid-19 Digenjot

"Untuk itu, perlu dilakukan penelusuran, apakah mereka sekarang sehat saja atau barangkali ada yang sakit yang tentu harus diisolasi dan ditangani dengan seksama, termasuk whole genome sequencing," pesan Prof. Tjandra.

Keempat, perlu ada kajian mendalam, apakah penolakan hanya dilakukan pada 8 negara ini. Terutama, kalau nanti varian baru terus meluas ke negara-negara lain.  

"Secara umum, pemeriksaan whole genome sequencing (WGS) di negara kita, jelas masih perlu ditingkatkan," cetus mantan Dirjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) dan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Kementerian Kesehatan ini.

Data GISAID per 26 November menunjukkan, Indonesia memasukkan 8.906 sampel WGS. Sementara Afrika Selatan, yang penduduknya tidak sampai 60 juta, sudah memasukkan 23.452 sampel WGS. Sedangkan India, bahkan sudah memasukkan 80.446 WGS.

"Penduduk kita itu, kira-kira seperempatnya penduduk India. Jadi, kalau India sekarang sudah memeriksa lebih 80 ribu sampel, maka semestinya kita sudah memeriksa 20 ribu sampel," pungkas Prof. Tjandra. [HES]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.