Dark/Light Mode

Cita-Cita Sang Raksasa Pemikir Margiono, Ternyata Sederhana Saja

Jumat, 4 Februari 2022 19:43 WIB
Tabur bunga di pemakaman Margiono (Foto: Rakyat Merdeka)
Tabur bunga di pemakaman Margiono (Foto: Rakyat Merdeka)

RM.id  Rakyat Merdeka -  

PAK Margiono punya cita-cita sederhana saja. Tidak tinggi. Begitu menamatkan kuliah di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung, pengennya mengabdi sebagai pekerja sosial. Paling tidak sebagai PNS di Departemen Sosial. "Bayangan saya bisa menikmati naik vespa. Ngantor di Dinas Sosial," katanya kepada saya ketika berbincang santai. Kantor yangg diangankannya itu tingkat kecamatan. Pak MG, begitu kami menyapa, adalah pimpinan di Rakyat Merdeka. Nada suaranya lembut. Beda lagi kalau pidato atau ngedalang. Tapi selalu akrab.

Awal bergabung dengan Harian Merdeka ketika bekerjasama dengan Jawa Pos, Margiono menjabat sebagai direktur. Kemudian menjadi Pemimpin Umum/ Pemimpin Perusahaan. Direktur Utama adalah Nyonya Herawati Diah. Wakil Direktur Utama Dahlan Iskan. Pemimpin Redaksi Tribuana Said. Saya, Karim Paputungan menjabat Wakil Pemimpin Redaksi II. Wakil Pemred I Jasofi Bachtiar (Lahu Al-Fatihah). Jalan yg kemudian ditempuh oleh Pak Margiono rupanya menyimpang. Tidak menjadi PNS. Dia melamar dan diterima sebagai angkatan pertama di Jawa Pos yang direkrut dari jalur sarjana.

Harian Merdeka, Rakyat Merdeka

Baca juga : Rutininas Yang Nyaman Bisa Tingkatkan Semangat Belajar Anak

Karier Margiono di Jawa Pos ibarat jalur tol yang lancar. Dia menggantikan Dahlan Iskan sebagai pemimpin redaksi. Seterusnya menjadi direktur. Hingga kemudian mengendalikan Harian Merdeka ketika bekerjasama dengan Jawa Pos itu. Kerjasama dimulai November 1994 berakhir 22 April 1999. Namun demikian, pada tanggal tersebut Harian Merdeka tetap terbit. Bersamaan terbit pula Harian Rakyat Merdeka. Pada malam bersejarah itu di kantor Merdeka, di Rawa Bokor, Jakarta Barat, saya menggarap Harian Merdeka. Judul berita utama halaman I: "Ini Dia Kelompok Panggagal Pemilu." Adapun Margiono membidani lahirnya Rakyat Merdeka. Judul berita utama: "Mega Dijaga Ketat Kol Marinir." Dengan demikian, Kamis Pahing, 22 April 1999/ 6 Muharram 1419 H dari Rawa Bokor terbit dua koran. Harian Merdeka kembali kepada pemiliknya dengan Pemimpin Redaksi Tribuana Said. Pak Tri memang tidak ikut bergabung dengan Rakyat Merdeka. Alasannya Harian Merdeka masih eksis. Namun dia memberikan restu. "Selamat kepada kalian yg muda-muda. Kalau di Harian Merdeka ada BM Diah, maka di Rakyat Merdeka ada Margiono. (Karim Paputungan, Berawal dan Berakhir di Rawa Bokor. Aku Wartawan Merdeka, 2009:272). BM Diah dan Margiono dalam waktu berbeda sama-sama sudah kembali kepada Maha Pencipta.

Pekerja Sosial, Menghidupkan Kembali Departemen Sosial

Margiono walaupun tidak berkarier sebagai pekerja sosial, namun aktif bahkan menjadi pengurus di Ikatan Pekerja Sosial Profesional Indonesia (IPSPI). Kemudian berganti nama menjadi Independen Pekerja Sosial Indonesia. Margiono melalui organisasi ini berupaya untuk menghidupkan kembali Departemen Sosial yang dibubarkan oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Dia malah menyediakan salah satu ruangan dan fasilitas di Graha Pena. Para pekerja sosial itu aktif mengadakan rapat. Beberapa di antaranya saya kenal, karena merupakan dosen di Sekolah Tinggi Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (STISIP) Widuri dekat kantor. Perjuangan itu berhasil. Depsos kemudian beralih menjadi Kementerian Sosial (Kemensos).

Mobil Tetangga, Ditinggal Di Halaman Parkir

Baca juga : Analisis Pakar Inggris: Risiko Rawat Inap Omicron Cuma Sepertiganya Delta

Margiono sebagai Direktur Utama Rakyat Merdeka sehari-hari tidak naik Vespa ke kantor. Tapi Land Cruiser. Kami kadang ikut mobilnya. Sebaliknya Margiono pernah ikut mobil saya Toyota Soluna. Jok terasa sempit untuk ukuran tubuhnya. Kisah mobil ini juga unik. Pada suatu siang di kantor beliau mendekati saya. “Pak Karim perlu mobil sedan,” katanya sambil menunjuk mobil merah di halaman parkir kantor. Mobil itu langsung ditinggal untuk saya. Padahal itu punya tetangganya yang baru dibeli beberapa hari. Di laci masih terdapat bekas-bekas karcis parkir dan uang kecil. Tetangganya terpaksa pulang nebeng mobil Pak MG.

Ditawarin Naik Haji, Dikira Naik Gaji

Ada kejadian menarik lain. Sekretaris Redaksi Pak Endang Naedi suatu hari mendekati saya. Sambil senyum mengatakan bahwa dia ditawari naik haji oleh Pak Margiono. "Tadinya saya kira ditawarin naik gaji," tuturnya senang.

Five Giants Of PWI, Masih Bergaung

Baca juga : Peringati HUT ke-5, PIS Berikan Apresiasi dan Berbagi Terhadap Sesama

Pak Margiono sebagai Sarjana Sosial yang terjun di dunia wartawan mencapai puncak karier sebagai Ketua Umum PWI dua periode. Namanya menasional. Tentu melewati batas satu kecamatan yang semula diangankannya. Pada debat calon-calon ketua umum kongres ke-22 di Banda Aceh, Juli 2008 Margiono mengemukakan pemikirannya tentang Five Giants of PWI atau Lima Raksasa di Tubuh PWI. Yakni PWI: besar, jauh, tinggi, kuat dan new brand. “PWI besar ketokohannya, besar jaringannya dan besar organisasinya,” ucapnya. Margiono boleh tidak tinggi cita-citanya, tapi di PWI tinggi cita-citanya dan tinggi pencapaiannya. Kuat soliditasnya dan kuat bargaining power-nya. PWI, lanjut dia, juga harus hadir dengan brand baru yang menjadikan organisasi besar ini berkembang dengan otak penggerak yang pintar. Pemikiran tentang Five Giants of PWI kemudian tampil sebagai berita di berbagai media. Di Rakyat Merdeka ditulis oleh wartawati Ratna Susilowati dengan inisial Nan. Ditempatkan sebagai banner headline di halaman depan. Eye catching.

Lima Raksasa di tubuh PWI ini tetap relevan dan seolah masih bergaung bersama riuhnya tepuk tangan peserta kongres menandai kemenangannya. Margiono dengan pemikiran raksasa dan raksasa jurnalis tetap kita kenang sebagai orang baik. Sebagaimana testimoni Direktur Rakyat Merdeka Kiki Iswara yang diucapkan sampai tiga kali ketika memberikan sambutan atas nama keluarga di acara pemakaman. "Almarhum orang baik, orang baik, orang baik," kata Kiki tersedu dan dikuatkan oleh hadirin. Kiki juga yang mendampingi Pak Margiono ketika dibawa ke Eka Hospital Bumi Serpong Damai (BSD) Tangerang Selatan bersama Ratna dan beberapa sahabat kantor, sore hari. Di Rumah Sakit, Kiki masih berkesempatan berbincang. Namun, menjelang tengah malam dirujuk ke Rumah Sakit Pertamina Modular. Selasa, 1 Februari sepekan menjelang puncak perayaan Hari Pers Nasional (HPN), pria kelahiran Tulung Agung 31 Desember 1960 itu beristirahat dengan tenang. (Karim Paputungan)

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.