Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Komnas Perempuan Dorong Pemenuhan Hak 13 Santriwati Korban Kekerasan Seksual

Senin, 18 April 2022 22:23 WIB
Terdakwa kasus pemerkosaan terhadap santriwati, Herry Wirawan digiring ke mobil tahanan di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat. (Foto: Istimewa)
Terdakwa kasus pemerkosaan terhadap santriwati, Herry Wirawan digiring ke mobil tahanan di Pengadilan Negeri Bandung, Jawa Barat. (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Komnas Perempuan terus memantau kasus kekerasan seksual terhadap 13 santriwati pondok pesantren di Bandung dengan pelaku  Herry Wirawan (HW), seorang guru pesantren. Kasus ini menjadi sorotan publik sejak terungkap pada 2021.

Pada 4 April lalu, Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Bandung mengabulkan banding dari jaksa atas HW terkait kasus pencabulan terhadap 13 anak-anak dengan vonis hukuman mati.                

Komnas Perempuan mengingatkan, kasus kekerasan seksual 13 santriwati merupakan bagian fenomena gunung es terkait kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama. Kasusnya sendiri sudah berlangsung sejak 2016 dan baru terungkap pada 2021. Sembilan bayi lahir akibat kekerasan seksual tersebut.

Komisioner Komnas Perempuan Rainy Hutabarat menuturkan, wacana hukuman mati muncul seiring tuntutan publik untuk pemenuhan hak-hak 13 santriwati korban kekerasan seksual. "Wacana tersebut tak hanya bergulir di media massa, juga menjadi topik perbincangan dalam berbagai webinar," katanya dalam siaran persnya, Senin (18/4).                

Berdasarkan pemantauan pihaknya, kekerasan seksual di lembaga pendidikan berbasis agama dan berasrama tergolong tinggi dibandingkan lembaga pendidikan secara umum. Komnas Perempuan juga mencatat kerentanan-kerentanan khusus anak perempuan korban kekerasan  seksual.

Baca juga : Kementan Pastikan Pasokan Dan Harga 12 Bahan Pokok Di Jambi Aman Terkendali

Pertama, relasi kekuasaan berlapis antara pelaku selaku pemilik pesantren dan guru pesantren yang memiliki pengaruh dan dapat memanfaatkan pengaruhnya dengan santriwati.

Kedua, publik yang menempatkan pemilik pesantren dan guru pesantren pada posisi terhormat. Ketiga, ketakutan korban dan keluarganya baik karena adanya ancaman maupun posisi terhormat pelaku.

Keempat, korban dan keluarganya juga ketakutan mengalami hambatan-hambatan dalam proses pendidikan akibat kekerasan seksual yang dialaminya.

"Di tengah-tengah kerentanan-kerentanan ini, Komnas Perempuan mengapresiasi keberanian 13 santriwati dan keluarganya untuk bersuara serta pendamping yang setia memfasilitasi agar kebenaran kasus terungkap," sebut Rainy.

Atas putusan pidana mati, sejak semula Komnas Perempuan telah menyampaikan pandangannya melalui media massa dan webinar yang didasarkan prinsip dan norma Hak Asasi Manusia (HAM) internasional dan perundang-undangan nasional.

Baca juga : Kementan Dan Menko Perekonomian Dorong Petani Milenial Manfaatkan KUR

Hak untuk hidup merupakan norma dasar dalam instrumen HAM internasional maupun nasional. Penghormatan terhadap hak atas hidup adalah komitmen global untuk menghentikan segala bentuk penghilangan nyawa manusia di seluruh dunia, seperti pembunuhan, honour killing, femisida, genosida dalam konteks perang dan atau konflik sosial bersenjata dan penghukuman mati.

“Atas putusan pidana mati terhadap HW dan di tengah-tengah tuntutan publik agar HW dihukum mati, Komnas Perempuan mendorong pengadilan untuk mempertimbangkan sanksi hukuman penjara seumur hidup seturut dengan prinsip dan norma HAM internasional. Menolak hukuman mati bukan berarti tidak mendukung korban," terang Rainy.

Deklarasi Universal HAM Pasal 3 menyatakan, setiap orang berhak atas kehidupan, kebebasan dan keselamatan sebagai individu. Lalu, UU Nomor 39 tahun 1999 tentang HAM pada Pasal 9 berbunyi, setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup dan meningkatkan taraf kehidupannya.

Berikutnya, Pasal 33 ayat (1), setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan, penghukuman atau perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, merendahkan derajat dan martabat kemanusiaannya.

Komnas Perempuan mengapresiasi putusan Pengadilan Tinggi Bandung menyangkut hak atas pemulihan, restitusi dan hak para korban dalam memberikan persetujuan untuk perawatan dan pengasuhan anak.

Baca juga : Mas Menteri Dukung Mahasiswa Korban Kekerasan Seksual Di UNRI

Hakim banding mengoreksi bahwa restitusi adalah hak para korban dan merupakan kewajiban pelaku untuk memulihkan dampak kekerasan seksual yang dialami para korban, dengan biaya yang bersumber dari kekayaan pelaku dan bukan negara.

Menurut Rainy, dengan mengoreksi sebagai hak korban dan bukan pidana tambahan maka putusan  maksimal dapat  ditetapkan sebagai pemenuhan kewajiban membayar restitusi. Restitusi akan digunakan untuk memenuhi biaya hidup anak-anak korban dan biaya pendidikan hingga mereka dewasa.

"Putusan ini sejalan dengan amanat UU Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disahkan pada 12 April 2022 lalu terkait soal pemulihan dan restitusi," tandasnya. [OSP]

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.