Dark/Light Mode

Mimbar Agama Rawan Disusupi, DKM Harus Lebih Teliti Pilih Dai

Kamis, 30 Juni 2022 16:59 WIB
Ketua Umum Asosiasi Dai dan Daiyah Indonesia (ADDI) Moch Syarif Hidayatullah (Foto: Istimewa)
Ketua Umum Asosiasi Dai dan Daiyah Indonesia (ADDI) Moch Syarif Hidayatullah (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Mimbar agama menjadi sarana paling efektif untuk menyampaikan banyak hal, paling khusus soal ajaran agama. Karena itu, mimbar agama sangat rentan disalahgunakan kelompok tertentu yang mengatasnamakan agama untuk melakukan penyebaran atau propaganda paham radikalisme. Hal itu berlaku di semua agama.

“Itu harus diakui. Karena faktanya, mimbar agama dari dulu sampai sekarang (sering disalahgunakan kelompok tertentu),” ujar Ketua Umum Asosiasi Dai dan Daiyah Indonesia (ADDI) Moch Syarif Hidayatullah, di Bogor, Kamis (30/6).

Sejatinya, lanjut dia, posisi mimbar agama sangat mulia. Karena berfungsi untuk menyebarkan kebaikan. Tapi, dalam perjalanan, mimbar masjid yang seperti khutbah, dipakai untuk ideoligasasi. Hal ini menjadi bahan penelitian dalam desertasinya, yang secara khusus mengupas tentang khotbah jihad.

Syarif menilai, tidak bisa dipungkiri bahwa mimbar dakwah di masjid atau tempat ibadah agama lain, sangat efektif untuk menyampaikan ajaran kepada jemaah. Para jemaah pun cenderung sangat memerhatikan yang disampaikan penceramah. Maka, di sinilah kemudian dipakai kelompok kepentingan tertentu, kelompok ideologi tertentu, untuk melakukan ideologisasi, untuk melakukan agitasi, dan politisasi. 

Baca juga : Siap Hapus Lebel `Tim Pelengkap`

Maka, menurutnya, pentingnya buat para dai atau khotib atau penceramah untuk diberikan juga wawasan bahwa dalam berceramah atau dalam menyampaikan materi keagamaan di mimbar agama atau di kegiatan dakwah yang lain, ada tanggung jawabnya. Baik tanggung jawab moral maupun tanggung jawab kepada Allah SWT terhadap apa pun yang disampaikan.

“Saya sampaikan, jangan sampai mimbar masjid itu dipakai untuk kepentingan agitasi, dipakai untuk kepentingan yang bukan kepentingan agama. Apalagi seperti biasa dalam musim-musim Pilpres, Pilkada, Pilgub, itu ada kelompok-kelompok kepentingan yang sengaja masuk ke masjid untuk mengganggu,” tutur Syarif.

Menurutnya, hal ini harus disadari meski dalam pengamantannya, kadang-kadang ada Dewan Kemakmuran Masjid (DKM) juga ikut- terlibat. Padahal, DKM seharusnya menjadi wasit dengan mengingatkan para khatib atau ustaz atau dai agar tidak keluar dari perspektif agama. “Intinya, peran DKM sangat penting, yang sebelum khotib itu naik mimbar untuk mengingatkan materi dakwah agar tidak offside,” ungkapnya.

Namun, ia mengakui hanya sebagian kecil masjid yang offside sehingga ikut dalam residu Pilpres atau residu politik praktis. Kemudian menggunakan masjid untuk kendaraan politik tertentu dengan mengagitasi masyarakat untuk diarahkan kepada pilihan tertentu, diarahkan untuk menyerang atau membenci pemerintah, menyerang apa yang kemudian mereka sebut sebagai rezim.

Baca juga : Tidak Ada Pergantian Direksi, Ini Hasil RUPST Telkom 2021

Lebih fatalnya lagi, ungkap Syarif, ada kalangan ASN dan profesional yang mengikuti atau mendengarkan khutbah itu. Padahal, mereka ingin salat di masjid tetapi kemudian dia mendengarkan agitasi itu, mendengarkan sesuatu yang sebetulnya di luar penjelasan agama.

“Di situlah kepentingan politik praktis yang membonceng entah itu sadar atau tidak sadar bahwa khotib menyampaikan itu. Entah dia bagian dari tim sukses atau tidak, entah dia mewakili kepentingan ideologi tertentu atau tidak. Apalagi kalau dia mewakili ideologi tertentu yang bertentangan dengan ideologi bangsa,” paparnya.

Ia mengatakakan, dalam mendengarkan khutbah, umumnya pikiran jamaah itu dalam konteks kosong, fokus, gelas kosong yang diisi air. Sehingga isi ceramah itu akan ditelan bulat-bulat karena disampaikan menggunakan mimbar agama sehingga seolah-olah itu pasti adalah bagian dari suara agama, padahal itu suara kepentingan. “Maka di sinilah pentingnya kita sebagai jamaah yang mendengarkan khutbah, mendengarkan dakwah perlu untuk melihat siapa ini yang berdakwah, siapa dainya, siapa khotibnya, dan lain sebagainya,” jelas Syarif.

Ia mengungkapkan, saat adanya rilis soal ustaz radikal, dai radikal, khotib radikal, bahkan masjid radikal, pasti disambut ‘gemuruh’ suara pro dan kontra seolah-olah menjadi justifikasi bahwa ada Islamofobia, ada peminggiran peran umat Islam. Padahal, faktanya memang hal tersebut memang ada.

Baca juga : Kemampuan Literasi Harus Dilengkapi Critical Thinking

Syarif melanjutkan, kalau seseorang melabeli dirinya sebagai ustaz, tentu bicaranya dalam konteks agama. Demikian juga kalau politisi, tentunya pasti bicaranya soal kepentingan politik dan itu tidak boleh dilakukan di mimbar dakwah. “Tapi, kadang-kadang di masjid atau di mimbar dakwah, ketemu dengan ustaz-ustaz yang mungkin tidak jelas ini posisinya, dia ini sebagai dai atau sebagai politisi atau sebagai tim sukses. Nah ini yang tentunya kita perlu hati-hati,” imbuhnya.

Sebenarnya, katanya, masjid atau mimbar dakwah keagamaan tidak pernah salah. Tetapi bagaimana orang-orang yang memanfaatkannya itu. Syarif pun mengajak semua pihak untuk memberi perhatian kepada masjid-masjid yang ada di lingkungan pemerintahan, yang menjadi tempat ASN beribadah. Jangan sampai khotib maupun sebagai penceramah, yang diundang justru yang selama ini teriak-teriak menolak pemerintah, menolak Pancasila, menolak UUD 1945, tidak mau hormat bendera Merah Putih, tidak mau menyanyikan Indonesia Raya, dan ideologi yang dia sampaikan dalam ceramahnya, dalam tulisannya ideologi yang berbeda dengan ideologi bangsa.

“Padahal ideologi Pancasila yang sudah disepakati mayoritas umat Islam, yang para ulama juga ikut terlibat di situ. NU, Muhammadiyah, MUI, ikut terlibat juga organisasi-organisasi yang moderat yang wasathiyah. Mereka tidak mempersoalkan Pancasila, karena memang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam,” jelasnya.

Untuk itulah, Syarif mengajak para dai dan penceramah wasathiyah untuk lebih kencang menyuarakan naras-narasi keagamaan, narasi Islam rahmatan lil alamin. Agar narasi keagamaan yang berkembang bukan narasi yang dikuasai orang-orang yang sebetulnya minoritas tapi berisik. “Sekarang ini jamannya bukan sing waras ngalah, tetapi sekarang jamannya yang waras harus bersuara. Jangan sampai kalah sama yang tidak waras,” pungkas Syarif Hidayatullah.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.