Dark/Light Mode

Revitalisasi Pendidikan Pancasila untuk Patahkan Narasi Negara Thaghut

Selasa, 23 Agustus 2022 17:52 WIB
Sekretaris BPET MUI M Najih Arromadloni (Foto: Istimewa)
Sekretaris BPET MUI M Najih Arromadloni (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Indonesia dengan ideologi Pancasila dianggap kurang syar’i atau bahkan kafir dan thaghut oleh kelompok neo-Khawarij. Padahal, Pancasila adalah tiruan dari pembentukan negara Madinah yang dibangun Rasulullah. Sejatinya pula, Pancasila dibangun berdasarkan ruh agama yang berdasarkan hukum Allah yang tertera dalam Al-Quran.

Demikian disampaikan Sekretaris Badan Penanggulangan Ekstrimisme dan Terorisme Majelis Ulama Indonesia (BPET MUI) M Najih Arromadloni. Dia mengatakan, logika yang dibangun dari sisa fosil pemikiran Khawarij itu harus diruntuhkan. Caranya, dengan revitalisasi kembali pendidikan Pancasila untuk mementahkan tudingan yang menyatakan bahwa Indonesia negara kafir dan thaghut karena berasaskan Pancasila bukan Islam.

“Kita perlu merevitalisasi kembali pendidikan tentang Pancasila, kesadaran tentang kebhinekaan. Sebetulnya, kalau kita berpegang teguh pada nilai-nilai Pancasila, tentu sudah sejalan dengan nilai-nilai agama,” ujar pria yang akrab disapa Gus Najih ini, di Jakarta, Selasa (23/8).

Baca juga : Nasdem: September, MPR Akan Bentuk Panitia Ad Hoc Rumuskan Haluan Negara

Gus Najih mengungkapkan, dengan revitalisasi pendidikan Pancasila, dapat meneguhkan nilai-nilai Pancasila di masyarakat. Dengan demikian, akan membawa bangsa ini merdeka dari virus intoleransi dan radikalisme.

Ia berharap, ke depannya tidak lagi muncul narasi konfrontasi antara agama dengan Pancasila maupun nasionalisme. Ke depan, bangsa ini harus merdeka dari narasi radikal anti-Pancasila, merdeka dari intoleransi dan radikalisme.

“Kemerdekaan yang sejati adalah pada saat kita bisa menerapkan atau mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bermasyarakat sehari hari. Tidak boleh ada lagi yang mengatakan bahwa Pancasila itu tidak sesuai dengan syariat Islam dan lain sebagainya,” tutur Gus Najih.

Baca juga : Franda Suka Baca Buku Dan Nikmati Wewangian Saat Santai

Gus Najih menekankan, edukasi dan moderasi menjadi hal pokok yang penting dibutuhkan untuk menciptakan manusia Indonesia yang tangguh dan merdeka dari intoleransi serta radikalisme, sebagaimana tujuan bangsa salah satunya yaitu mencerdaskan kehidupan. “Saya kira harus ada semacam reformasi kultural yang bertujuan untuk menanamkan  dan mengedukasikan nilai-nilai  luhur bangsa, untuk agar supaya kita bisa terlindungi dari virus intoleransi dan radikalisme itu sendiri,” jelasnya.

Pendiri Center for Research and Islamic Studies (CRIS) Foundation ini memandang, perlu ada ketegasan Pemerintah setelah 77 tahun kemerdekaan dengan berkomitmen terhadap penanganan intoleransi dan radikalisme. Juga menghentikan pragmatisme politik terdahulu yang terkesan memfasilitasi maupun melakukan kompromi terhadap aksi intoleransi dan radikalisme.

Pasalnya, virus intoleransi dan radikalisme yang menyebar ke masyarakat ini, belum ada jangkauan Undang-Undang. Hal ini semakin membuat miris ketika keberadaan kelompok Salafi Wahabi yang melarang menyanyikan lagu Indonesia Raya, hormat kepada bendera Merah Putih, bahkan menganggap bahwa perayaan hari kemerdekaan adalah suatu bid'ah yang munkar.

Baca juga : Dalam Pancasila, Agama Menyatukan Bukan Memecah Belah

“Narasi-narasi seperti ini harus kita lawan, karena kalau narasi narasi seperti ini dibiarkan maka akan mendegradasi nasionalisme masyarakat kita. Ketika masyarakat kita sudah tidak punya patriotisme maka itu berarti adalah alarm kehancuran,” pungkas Gus Najih.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.