Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Korban Bertambah, Tapi Sudah Ada Obatnya

Gangguan Ginjal Akut Mulai Bisa Diatasi

Sabtu, 22 Oktober 2022 07:38 WIB
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (Foto: Dwi Pambudo/RM)
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin (Foto: Dwi Pambudo/RM)

RM.id  Rakyat Merdeka - Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memberikan kabar yang cukup menenangkan. “Gangguan ginjal akut mulai bisa diatasi,” kata Menkes, kepada Rakyat Merdeka, tadi malam.

Obat untuk menyembuhkannya adalah fomepizole. RSCM sudah mencoba memberikan obat ini kepada 10 pasien. Dan, hasilnya efektif. Dilaporkan, sebagian dalam kondisi perbaikan, sebagian lagi stabil. 

Selanjutnya, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) akan mendatangkan 200 vial obat fomepizole dari Singapura untuk menyembuhkan anak-anak yang saat ini dalam perawatan gangguan ginjal akut. 1 vial fomepizole harganya Rp 16 juta. Dosis 1 vial cukup untuk satu pasien. “Ini biaya ditanggung Kemenkes,” katanya.

Dalam konferensi pers "Perkembangan Penanganan Gangguan Ginjal Akut di Indonesia", di Jakarta, kemarin, Menkes juga memberikan penjelasan mengenai hal ini. Dia menerangkan, reaksi fomepizole memicu perbaikan gejala pasien, dan sebagian lainnya stabil. 

Menkes berharap, kehadiran obat Fomepizole yang sudah diuji coba hingga tiga hari terakhir di RSCM, bisa menekan laju kematian. 

"Kami merasa lebih yakin bahwa obat ini efektif. Sekarang Pemerintah mendatangkan lebih banyak lagi untuk pasien yang ada, karena kita sudah tahu penyebabnya apa, itu bisa diobati," katanya.

Baca juga : Ditemukan Senyawa Kimia Pada 7 Pasien Gagal Ginjal Akut Di RSCM

Sampai kemarin, Kemenkes mencatat kasus gagal ginjal akut pada anak sudah mencapai 241 yang tersebar di 22 provinsi. Sebanyak 55 persen di antaranya atau 133 orang, meninggal dunia.

 Menkes mencatat, gejala paling banyak dialami adalah oliguria atau air kencing sedikit dan anuria atau tidak ada air kencing sama sekali. Menkes memastikan, penyebab utama kasus gagal ginjal pada anak bukan karena vaksin Covid-19, tapi adalah Etilen Glikol (EG). EG adalah senyawa kimia yang digunakan sebagai pelarut dalam obat sirup.

Eks Dirut Bank Mandiri ini lalu menceritakan kronologi dari awal kasus ini muncul, sampai akhirnya disimpulkan bahwa penyebab gangguan ginjal akut pada anak adalah karena EG. Kata dia, kasus gagal ginjal pada anak mulai muncul pada Juli lalu. Saat itu, kasusnya tak banyak. Baru 1-2 kematian per bulan. Kemudian terjadi lonjakan kasus pada Agustus. Angka kematiannya pun melonjak menjadi 36 kasus per bulan. Secara umum, pasien adalah golongan anak-anak, dan paling banyak adalah balita.

Di September dan Oktober, kasus kembali meningkat. Naiknya pesat sekali. Tekanan rumah sakit seperti di RSCM sangat terasa. Ruang ICU untuk anak penuh. 

Pada September, lanjut Menkes, pihaknya mulai meneliti penyebab kematian pada kasus gagal ginjal pada anak ini. Awalnya, ia mengira penyebabnya dikarenakan patogen. Soalnya, penyakit disebabkan kalau tidak virus, bakteri, ya parasit. Pihaknya melakukan uji terhadap tiga jenis patogen itu. Hasilnya nihil. 

Baru pada pertengahan September, muncul kesadaran kalau penyebab sakit ginjal itu bukan patogen. Kesadaran itu datang setelah Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menemukan penyebab pasti kematian puluhan anak di Gambia, Afrika. Menurut WHO, penyebab kematian anak di Gambia itu adalah senyawa kimia. 

Baca juga : Setop Dulu Pengobatan Sirup

Dari situ, pihaknya tak lagi melakukan uji patogen, tapi melamukan uji toksik. Pihaknya juga mulai melakukan pendalaman pada keluarga pasien, menanyakan obat sirup apa yang diminum. Dari 154 rumah pasien yang didatangi, petugas menemukan 102 jenis obat sirup. Kemenkes lalu mengambil obat-obat yang ditemukan itu. Setelah dicek, ternyata ada obat yang mengandung senyawa berbahaya.

Penelitian kepada pasien pun secara khusus pada senyawa kimia Etilen Glikol (EG) dan Dietilen Glikol (DEG) di atas ambang batas pada obat-obatan yang dikonsumsi. Benar saja, dari basis tes ke pasien di RSCM, dari 17 ada 15 yang positif memiliki senyawa EG dan DEG. "Jadi, ini bukan karena patogen, tapi karena toksik. Jadi, terkonfirmasi ini disebabkan oleh senyawa kimia," ucap Menkes.

Dia menjelaskan, senyawa EG dan DEG memang tidak tercantum dalam bahan obat sirup. Karena ini cemaran. Jadi, untuk melarutkan obat, produsen biasanya menggunakan Polyetilen Glikol. Namun, kalau prosesnya tidak baik akan menghasilkan cemaran yaitu EG dan DEG. Senyawa ini kalau masuk ke tubuh berubah menjadi asam oksalat, zat yang berbahaya bagi tubuh.

"Kalau masuk ke ginjal, bisa jadi kalsium oksalat. Kristal kecil yang tajam-tajam di ginjal balita sehingga rusak ginjalnya," jelas Menkes.

Atas dasar itu, Menkes menegaskan, pihaknya mengambil kebijakan sementara untuk menyetop pemberian obat sirop kepada pasien. Ia mengakui kebijakan ini konservatif, tapi lebih baik. Daripada nanti banyak lagi balita yang masuk rumah sakti dan fatality rate-nya tinggi sekali.

"Kita ambil kebijakan konservatif meski belum 100 persen tahu yang mana yang berbahaya dan tidak, tapi 75 persen kita tahu yang menyebabkan ini kita larang dulu. Kita larang untuk diresepkan dan dijual," imbuhnya.

Baca juga : Jakarta Terbanyak, 6 Pasien Di Bali Sembuh

Ia lalu mewanti-wanti agar orang tua lebih waspada dengan cara terus memantau jumlah dan warna urin yang pekat atau kecoklatan pada anak. Apabila urine berkurang atau berjumlah kurang dari 0,5 ml/kgBB/jam, dalam 6-12 jam atau tidak ada urine selama 6-8 jam, maka pasien harus segera dirujuk ke rumah sakit.

Selanjutnya, pihak rumah sakit diminta melakukan pemeriksaan fungsi ginjal yakni ureum dan kreatinin. Apabila hasil fungsi ginjal menunjukkan adanya peningkatan, maka dilakukan pemeriksaan lanjutan untuk menegakkan diagnosis, evaluasi kemungkinan etiologi dan komplikasi.

Sementara itu, mantan Direktur WHO Asia Tenggara Prof Tjandra Yoga Aditama mengatakan, perkembangan kasus ginjal pada anak ini sudah pada tahap perlu tidaknya dinyatakan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) agar penanganan dan sumber daya dapat maksimal. Kata dia, situasi ini benar-benar merupakan tantangan amat berat dunia kesehatan. Karena itu, semua pihak tentu setuju agar penanganannya harus sangat intensif. 

Tetapi, kata dia, perlu tahu bahwa yang tercantum resmi dalam Peraturan Menteri Kesehatan tentang KLB harus memenuhi dua kriteria. Pertama, KLB penyakit menular yang bahkan disebut dapat menjurus terjadinya wabah. Kedua, KLB Keracunan Pangan.

"Sementara sejauh ini yang diduga jadi penyebab gagal ginjal akut bukanlah penyebaran penyakit menular yang berpotensi wabah, dan bukan juga 200 kasus di 20 propinsi ini, akibat mengkonsumsi makanan tertentu. Jadi, tidak sesuai dengan istilah KLB di Peraturan Menteri Kesehatan yang ada, kecuali kalau kemudian dibuat peraturan tentang jenis KLB yang baru nantinya," kata Prof Yoga.

Namun, kata Prof Yoga, apa pun istilah yang akan dipakai, situasi ini bukanlah hal yang biasa. Ini jelas situasi luar biasa bagi kesehatan masyarakat kita, karena itu harus ditangani benar-benar maksimal, “all out”, dengan cermat, cepat, dan akurat.■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.