Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Partai Politik Bisa Dibeli, Bukan Hoaks!

Senin, 21 November 2022 07:40 WIB
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini (kanan), Pegiat Hak Asasi Manusia Haris Azhar (kiri) dan Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio, menjadi pembicara Ngopi Seberang Istana bertema “Partai Politik Bisa Dibeli? Gosip Atau Fakta?” di Amaris Hotel Juanda, Jakarta, Minggu (20/11/2022). (Foto: Dwi Pambudo/RM)
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini (kanan), Pegiat Hak Asasi Manusia Haris Azhar (kiri) dan Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio, menjadi pembicara Ngopi Seberang Istana bertema “Partai Politik Bisa Dibeli? Gosip Atau Fakta?” di Amaris Hotel Juanda, Jakarta, Minggu (20/11/2022). (Foto: Dwi Pambudo/RM)

RM.id  Rakyat Merdeka - Partai politik secara fakta bisa dibeli oleh kekuatan besar dari luar partai politik. Terlebih saat ini partai politik yang bisa mengajukan pasangan calon presiden dan wakil presiden ha­ruslah memenuhi ambang batas pencalonan presiden 20 persen. Hal ini disampaikan Pegiat HAM dan Pro Demokrasi, Haris Azhar pada diskusi publik Ngopi Dari Sebrang Istana dengan tajuk “Partai Politik bisa Dibeli? Gosip atau Fakta?” yang diselenggarakan oleh Lembaga Survei kedaiKOPI di Jl. Juanda, Jakarta Pusat, kemarin.

Bagi Haris, fenomena jual-beli partai politik saat ini bukan hanya sebatas dibeli untuk mencalonkan seseorang. Namun, juga partai politik dapat dibeli dengan tujuan agar sam­pai partai politik tidak men­calonkan seseorang.

Lebih jauh Haris menjelas­kan bagaimana sebuah organ­isasi partai politik dapat dibeli. “Partai politik dapat dibeli le­wat apa? Bisa lewat pembagian jabatan, melalui wilayah, dan sektor ekonomi dan industri,” ungkap Haris.

Baca juga : Politik Riang Gembira

“Kalau melalui jabatan, mereka bisa memproduksi regulasi, yang mana di situ ada rombongan dagang bisnis industrinya, dan sebagian juga berkembang dan terfasilitasi di partai politik atau mesti ber­gabung dengan partai politik,” sambungnya.

Selain dibeli melalui hal di atas, Haris juga membeberkan bahwa saling sandera posisi juga dapat mempengaruhi apakah institusi partai politik dapat dibeli atau tidak. Ironisnya di situ lah akan muncul nego-nego politik yang terjadi di ruang gelap yang isinya ti­dak bisa diketahui oleh publik.

Mengamini pernyataan Haris, Analis Komunikasi Politik Hendri Satrio menyatakan sangat bisa apabila terdapat orang atau kelompok yang ingin menguasai Indonesia dan membeli partai politik. “Peraturan kita jelas mengo­bral bahwa pasangan calon presiden dan calon wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemili­han umum. Maka, apabila ada orang atau kelompok yang ingin berkuasa, yang paling mudah caranya adalah melalui partai politik,” ujar pria yang akrab disapa Hensat tersebut.

Baca juga : Polandia Diserang Rudal, Rupiah Kena Imbasnya

Namun, menurut Hensat, hal itu hanya dapat dimung­kinkan apabila partai politik mengubah dirinya menjadi hanya sebatas organisasi yang mengincar angka elektoral. “Yang bahaya adalah partai politik menurunkan derajatnya dari institusi yang mempunyai ideologi menjadi organisasi yang hanya mengejar suara rakyat saja, yang penting punya kursi di DPR/DPRD dan kementerian. Itu bahaya buat negara dan demokrasi di Indonesia dan hal ini perlu diingatkan,” tegas Hensat.

“Bayangkan ada sebuah kelompok besar yang sangat kuat sekali dan dia bargaining dengan sebuah partai politik, “saya akan biayai semua proses politik” syaratnya? Saya mau ada orang saya yang jadi capres atau cawapres dan saya jamin menang”. Dengan kekuatannya, dia bisa jamin bahwa pasangan ini menang. Ini jelas-jelas merusak demokrasi Indonesia” sambung Hensat.

Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini mengungkapkan bahwa politik jual-beli terjadi karena adanya anomali di dalam sistem pe­milu di Indonesia. Dirinya mengambil contoh pada pemilu yang terjadi di Brazil, dimana sistem pemilu di Brazil juga menggunakan sistem serentak. “Brazil baru selesai pemilu, di sana ada 11 pasangan calon presiden dan wakil presiden. Indonesia, dengan sistem yang sama namun karena ada am­bang batas pencalonan presiden yang angkanya berasal dari pemilu masa lampau menja­dikan sistem presidensial rasa parlementer,” pungkas Titi.

Baca juga : Mentan Panen Padi Aplikasi Biosaka Di Blitar

Bagi Titi, dengan adanya ambang batas pencalonan, sekuat apapun partai politik apabila persentasenya tidak sampai maka ruang transaksi politik akan selalu terbuka. “Terlebih masih ada 11 (sebelas) bulan lagi masyarakat akan terus disajikan berita mengenai pertemuan antar elit politik, dan selama itu pula kita tidak bisa mengakses apa isi pertemuan tersebut,” tukas Titi seraya menutup diskusi. ■

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.