Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Moralitas Politik Dalam Islam (4)

Memberi Kebebasan Beragama

Jumat, 4 November 2022 06:20 WIB
Nasaruddin Umar
Nasaruddin Umar
Tausiah Politik

RM.id  Rakyat Merdeka - Pemimpin ideal bagi bangsa Indonesia ialah yang mampu memberikan kemerdekaan dan kebebasan umat beragama di dalam mengekspresikan ajaran-ajaran agama para warganya.

Penyebutan tidak kurang 15 kali agama Yahudi dan 10 kali Nashrani dan sejumlah aliran kepercayaan di dalam Al-Qur’an menjadi dasar untuk menyatakan Al-Qur’an memberikan ke­bebasan orang untuk berbeda agama dan keyakinan.

Banyak ayat yang menyatakan kebebasan beragama dan berkeyakinan, antara lain: Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam). (Q.S. Al-Baqarah/2:256), Katakanlah: “Hai Ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu. (Q.S. Ali ‘Imran/3:64), Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi, tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, (Q.S. Al-Qashash/28:56), Dan jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya? (Q.S. Yunus/10:99).

Baca juga : Batas Kepatuhan Terhadap Pemimpin

Selain ayat-ayat tersebut terdapat sejumlah hadis yang senada dengannya, yang memberikan kebebasan orang untuk memilih agama dan keyakinan di luar agama Islam. Pengalaman kasus Usamah ibn Zaid juga dapat dijadikan contoh.

Ia dipilih Nabi menjadi Panglima Angkatan Perang ketika masih berumur di bawah 20 tahun. Ketika ia mengejar dan membunuh seorang musuh yang terjebak lalu mem­bunuhnya setelah sempat mengucapkan kalimat syahadat.

Peristiwa tersebut sampai kepada Nabi dan ia memang­gil Usamah dalam keadaan marah. Ia menyesalkan men­gapa Usamah membunuh orang yang sudah bersyahadat. Usamah menjelaskan kalau orang itu sangat berbahaya dan ia bersyahadat ketika ia terpojok di pinggir tebing.

Baca juga : Memilih Pemimpin Yang Adil

Nabi menolak alasan Usamah dengan mengatakan: Nahnu nahkum bi al-dhawahir, wa Allah yatawalla al-sarair (Kita hanya menghukum apa yang tampak, dan Allah SWT yang menghukum apa yang tersimpan di hati orang).

Sikap Nabi ini menunjukkan betapa kita tidak boleh mem­vonis keyakinan dan kepercayaan orang lain. Jika orang secara formal mempersaksikan syahadatnya secara terbuka maka kita tidak boleh lagi mengusiknya.

Soal ada pelanggaran lain, nanti saja proses hukum formal yang akan menyelesaikannya. Usamah pun saat itu memohon ampun kepada Rasullullah akan peristiwa itu dan Usamah berjanji akan hati-hati jika menemui peristiwa yang sama terjadi di kemudian hari.
 Selanjutnya 

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.