Dark/Light Mode

Catatan Prof Didik J Rachbini

Mengenang Ridwan Saidi

Minggu, 25 Desember 2022 20:46 WIB
Ridwan Saidi (Foto: Istimewa)
Ridwan Saidi (Foto: Istimewa)

RM.id  Rakyat Merdeka - Waktu saya masih mahasiswa pada tahun 1980-an dan belajar berorganisasi, Ridwan Saidi sudah malang melintang sebagai anggota DPR dari PPP. Saya kenal secara pribadi sebagai aktivis HMI dan berinteraksi terus-menerus setidaknya 2-3 tahun, pada 1983-85, sebelum saya melanjutkan kuliah S2 dan S3. Orangnya egaliter, gaya bicaranya berintonasi kuat, tetapi sangat humoris sambil mengejek apa dan siapa yang diktiriknya.

Di jagat politik nasional, suara anggota DPR Ridwan Saidi nyaring, tetapi tidak mampu mengubah peta politik Orde Baru yang sangat kuat pada waktu itu. Berbeda dengan kelompok Petisi 50, yang langsung ditumpas oleh Orde Baru karena frontal head to head dengan Soeharto, kritik Bang Ridwan lebih lunak dan lewat status formalnya sebagai anggota DPR sehingga tidak pernah sedikit pun ada indikasi untuk ditangkap.

Kekuatan oposisi tidak ada artinya di tengah kekuatan politik otoriter pada waktu itu. Tetapi, kritik-kritik yang dilontarkan memberikan pelajaran bahwa dalam demokrasi harus ada suara lain yang berbeda dan mungkin bisa menjadi alternatif. Simbol kritik yang menggema secara nasional itu ada pada figur Ridwan Saidi.

Baca juga : Mendag Pasang Badan

Praktis seumur hidupnya Ridwan Saidi berada di luar lingkar kekuasaan dan tidak menyesal memainkan peranan kritis terhadap kekuasaan tersebut. Ridwan Saidi adalah aktivis HMI lulusan Universitas Indonesia, yang ditempa sejarah aktivisme sangat panjang bersamaan dengan perubahan besar di negeri ini, mulai dari Orde Lama, Rovolusi Kudeta PKI, dan Orde Baru, masa transisi sulit kejatuhan Orde Baru, sampai masa demokrasi bebas sekarang ini.

Ketika hampir dua dekade pasca-reformasi, demokrasi mengalami kemunduran, Ridwan Saidi bersuara di publik agar pemerintah tidak main tangkap terhadap lawan politiknya. Tindakan penangkapan sejumlah aktivis seperti Ahmad Dhani, Buni Yani, dan Slamet Ma'arif dan lain-lain diyakini dengan perlakuan hukum diskriminatif. Penegakan hukum era Jokowi menjadi sorotan internasional, terutama Komnas HAM Internasional.

Tidak hanya beberapa orang tersebut, banyak ulama, aktivis Jumhur Hidayat dan Syahganda Nainggolan diberangus aparat hanya gara-gara posting WA kritis terhadap pemerintah. Aura pemerintahan yang otoriter mulai kelihatan karena konsolidasi kekuasaan hampir mutlak seperti di parlemen menguasai 82 persen dan aparat berpusat kepada Presiden. Menurut saya, figur seperti Ridwan Saidi diperlukan untuk menjaga demokrasi agar tidak tergelincir mengarah ke otoriter.

Baca juga : Mardiono Ingin Mengembalikan Kejayaan PPP

Tidak hanya kritik masalah politik, Ridwan Saidi juga mengkritik masalah pembangunan dengan mengatakan bahwa pemerintah boleh saja mempunyai rencana memindahkan ibu kota ke wilayah mana pun. Namun, ia ragu langkah tersebut akan terealisasi karena tidak didukung rakyat. Kalau gagasan yang jumpalitan tidak jelas dan terburu-buru biasanya kagak bakal jalan.

Meskipun selalu kritis, Ridwan Saidi juga bisa memuji pemerintah, dalam hal ini Jokowi sebagai Gubernur DKI. Ridwan Saidi, salut terhadap Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo yang memiliki kepedulian untuk membangun Perkampungan Budaya Betawi di Setu Babakan, Jagakarsa, Jakarta Selatan. Pembangunan Kampung Betawi sangat baik untuk melestarikan budaya Betawi yang mulai terancam eksistensinya. Di Singapura saja ada Kampung Melayu, yang dipelihara.

Selamat Jalan Bang Ridwan.■

Baca juga : Kereta Cepat Membangun Sejarah dan Peradaban

Prof Didik J Rachbini
Rektor Universitas Paramadina

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.