Dark/Light Mode

Hasil Rekapitulasi KPU
Pemilu Presiden 2024
Anies & Muhaimin
24,9%
40.971.906 suara
24,9%
40.971.906 suara
Anies & Muhaimin
Prabowo & Gibran
58,6%
96.214.691 suara
58,6%
96.214.691 suara
Prabowo & Gibran
Ganjar & Mahfud
16,5%
27.040.878 suara
16,5%
27.040.878 suara
Ganjar & Mahfud
Sumber: KPU

Denny JA Bicara Soal Perselisihan Sastra Atau Politik

Kamis, 16 Maret 2023 19:32 WIB
Ketua Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena Denny JA saat memberikan sambutan melalui video pada acara Tribute to Remy Sylado di Bentara Budaya Jakarta. (Foto: Ist)
Ketua Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena Denny JA saat memberikan sambutan melalui video pada acara Tribute to Remy Sylado di Bentara Budaya Jakarta. (Foto: Ist)

RM.id  Rakyat Merdeka - “Mereka yang bukan sahabatmu seiman, mereka adalah sahabatmu dalam kemanusiaan”

Kutipan dari Sayyidina Ali itu diungkapkan Ketua Umum Perkumpulan Penulis Indonesia Satupena, Denny JA, dalam acara Tribute to Remy Sylado hasil kolaborasi Sinergi Production, Kepustakaan Populer Gramedia, dan Bentara Budaya Jakarta, akhir pekan lalu.

Acara ini terdiri dari pidato pembukaan oleh istri Remy, Emmy Tambayong; penghormatan terhadap karya-karya Remy, pameran memorabilia, donasi, dan lelang lukisan. Dalam acara tersebut, beberapa seniman mementaskan sejumlah karya Remy, mulai dari Ivan Nestorman, Tio Pakusadewo, hingga Jose Rizal Manua.

Denny mengisahkan, Sayyidina Ali menyatakan hal itu ketika melihat begitu banyak dalam komunitasnya yang berbeda prinsip dalam iman, juga sangat mengganggu persahabatan mereka sebagai sesama warga komunitas. Kata seiman dari kutipan Sayyidina Ali dapat diartikan secara luas untuk konteks sekarang.  

“Seiman di sini tidak hanya seiman dalam soal agama, tapi juga persamaan prinsip dalam politik, ataupun persamaan prinsip di dunia sastra. Sehingga, tafsir kutipan itu menjadi lebih luas menjadi, ‘mereka yang tidak  sejalan denganmu atau berhadapan denganmu dalam prinsip politik dan juga prinsip sastra, mereka tetaplah temanmu dalam kemanusiaan,” ungkap Denny.

Kutipan Sayyidina Ali itu juga memberi perspektif dinamika antara Denny dengan sastawan Japi Panda Abdiel Tambajong, atau dikenal dengan nama pena, Remy Sylado, dalam lima tahun terakhir. Denny mengungkapkan, pada Mei 2018, sempat terlibat dalam perdebatan dan saling kritik yang keras di media sosial. 

Kala itu, menurut Denny, Remy yang diwawancara sekali, kemudian menulis dua kali, sedangkan dirinya menulis tiga kali. “Kami saling kritik, saling serang, dan saling menjelaskan sikap pendirian kami soal sastra,” ujarnya mengenang kisah dengan Remy Sylado.

Baca juga : Perangi Hoax, Partai Perindo Laporkan Channel YouTube Agenda Politik

Menurut Denny, Remy Sylado sangat keras menyerangnya soal puisi, esai, dan pendiriannya soal sastra. Denny pun menjelaskan sikapnya dan menyerang cara Remy Sylado mengambil kesimpulan yang sahih dan kesalahan dalam logical fallacy. 

Perdebatan yang terjadi dalam rentang 1,5 bulan lebih dan beredar luas itu membuat kalangan sastra dan publik membuat keduanya dikenal berhadapan secara sangat frontal. 

“Lalu, datanglah era dua tahun kemudian di mana Remy Sylado sakit keras. Publik melihat hubungan kami yang berbeda. Saya bersama teman-teman di Satupena dengan hati yang terbuka. Kami datang ke Remy Sylado melalui Rahmi Isriana,” ujar Denny. 

Denny mengungkapkan bahwa menurut cerita Rahmi Isriana, Remy Sylado sangat menyukai kudapan roti abon. Karena itu, Denny dan teman-temannya membelikan roti abon dan hadiah kursi roda yang saat itu dibutuhkan Remy Sylado.

Lalu, bersama dengan teman-teman Satupena dan Puisi Esai, Denny membuatkan video untuk Remy Sylado yang kemudian disebarluaskan. Hal ini dikerjakan untuk membuat teman-teman lainnya ikut mengapresiasi, melihat, dan mendapatkan kabar mengenai kondisi Remy Sylado.

“Banyak yang bertanya, ‘Ada apa dengan saya dan Remy?’ Mengapa tiba-tiba hubungan kami berdua berubah dan akrab? Sebenarnya tidak ada yang berubah dari hubungan kami. Sejak awal kami berdua meyakini bahwa tak apa kami berbeda prinsip dalam sastra. Bahkan, tak apa pula kami berbeda prinsip soal iman,” terang Denny.

“Tapi, untuk sisi kemanusiaan, kami tetaplah saudara sesama manusia. Perbedaan sikap dalam sastra jangan menjadi kendala hubungan sesama manusia untuk tetap saling tolong menolong di kala susah,” sambungnya.

Baca juga : Denny JA: Esensi Agama Adalah Membersihkan Hati

Denny menjelaskan, prinsip tersebut sebenarnya bukan hal baru di dunia sastra. Hal tersebut pernah terjadi antara dua tokoh sastra besar dunia, yakni William Faulkner dan Ernest Hemingway pada 1947. 

Kala itu, William Faulkner yang ditanya siapakah sastrawan terbesar era itu lalu membuat daftar, di mana selain ada Namanya sendiri, juga menyebut Ernest Hemingway. Namun, Faulkner juga memberikan kritik yang keras atas gaya penulisan dan pendirian sastra Ernest Hemingway. 

Ernest Hemingway pun kemudian membalas kritik William Faulkner dengan keras dengan menyerang pendirian, gaya hidup, dan ekspresinya dalam sastra. Perdebatan mereka yang keras pun menjadi konsumsi publik.

Denny melanjutkan, pada 1949, William Faulkner mendapatkan Nobel Sastra. Lalu 5 tahun kemudian, atau pada 1954, gantian Ernest Hemingway yang mendapatkan Nobel Sastra. Namun, kedua tokoh ini tetap saja saling mengkritik tentang pendirian sastra masing-masing, yakni tentang gaya dalam menulis masing-masing. 

“Namun, kita tahu setelah perdebatan itu, di akhir hidupnya, walaupun saling mengritik keras, tapi sesungguhnya mereka berdua adalah orang yang saling menghargai pendirian masing-masing. Perbedaan dalam sastra itu adalah hal biasa. Tapi sebagai sesama insan manusia, mereka tetap saling menghormati,” papar Denny.

Di Indonesia, hal yang sama juga terjadi antara Dwi Tunggal proklamator, Soekarno dan Mohammad Hatta. Pada 1959, Bung Karno sebagai presiden menyatakan untuk menerapkan demokrasi terpimpin bagi Indonesia. 

Sedangkan, Bung Hatta yang tidak setuju dan memilih mundur sebagai wakil presiden. Kepada rakyat, Bung Hatta mengatakan bahwa ketika Bung Karno menyatakan demokrasi terpimpin, yang terjadi sebenarnya adalah Indonesia dijauhkan dari demokrasi.

Baca juga : BI Dan Bank Korea Perpanjang Penggunaan Mata Uang Lokal

“Dua tokoh besar ini diketahui sangat berbeda dalam prinsip politiknya. Hal itu terjadi dan terbuka sampai akhirnya keduanya wafat. Namun, orang tahu bahwa dalam persahabatan, mereka tetap berhubungan baik,” ujar Dennya. 

Disebutkan Denny, ketika menjadi Guntur Soekarno Putra menikah, yang menjadi wali nikah adalah Bung Hatta karena Bung Karno lebih dulu wafat. Menurut Denny, Bung Hatta yang begitu keras berhadapan dengan Bung Karno di politik, namun soal kehidupan keluarga dan kehidupan pribadi, tetaplah menjadi seorang teman. 

“Itulah kerangka besar dari hubungan yang seharusnya. Itu juga terjadi antara saya dan Remmy Sylado. Kami berbeda sangat keras soal sastra, tapi ketika datang satu situasi di mana Remy sakit, kami tetap saling membantu sebagai sesama manusia,” ungkap pendiri LSI Denny JA tersebut.

Menurut Denny, inilah yang disebut dengan perspektif yang sehat, di mana hubungan sesama manusia lebih mendasar, lebih fundamental dibandingkan hubungan sebagai sastrawan, politisi, ataupun penganut agama.

“Kini Remy Sylado sudah wafat. Kita hormati Remy Sylado. Bahkan, ketika dia wafat, saya menghormatinya dengan sengaja menonton kembali filmnya. Sebuah film yang berjudul Ca-Bau-Kan diproduksi berdasarkan novel Remy Sylado,” tuturnya.

“Ketika Remy wafat, di hari yang sama, sengaja saya menonton film itu kembali di Netflix. Ini cara saya menghormati seorang pencipta. Remy Sylado sudah wafat. Tapi karya-karyanya terus hidup bersama kita,” pungkasnya.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.