Dark/Light Mode

Pakar Hukum: Pulau Rempang Bukan Pemukiman Tanah Adat, Tapi Kawasan Hutan

Selasa, 19 September 2023 10:46 WIB
Foto: Ist
Foto: Ist

RM.id  Rakyat Merdeka - Konflik yang terjadi di Pulau Rempang beberapa hari terakhir ini menjadi buah bibir masyarakat Indonesia.

Hal ini dikarenakan minimnya pengetahuan masyarakat terkait fakta-fakta yang belum terungkap ke publik sehingga memicu beredarnya hoaks atau berita bohong berbau SARA.

Menteri ATR/Kepala BPN Hadi Tjahjanto menjelaskan bahwa tanah seluas 17.000 hektare di Pulau Rempang sebagian besar merupakan kawasan hutan dan tidak ada hak atas tanah di atasnya.

Menanggapi hal tersebut, Pakar Hukum Pertanahan Dr. Ir. Tjahjo Arianto menyebut, Pulau Rempang adalah hutan yang digarap masyarakat penggarap dan bukan tanah adat.

"Maka harus dibedakan, Rempang itu kan sebagian besar adalah bekas hutan dan bekas HGU. Jadi bukan pengakuan kepemilikan, tapi pengakuan dia telah menggarap, walaupun penggarapan (perkebunan, peternakan) itu ya ilegal," kata Tjahjo kepada wartawan, Selasa (19/9).

Soal tanah uliyat atau adat, Tjahjo menjelaskan, belum ada dasar hukum yang tegas terkait apa saja yang membuat sah keberadaan pemukiman tanah adat di Pulau Rempang.

"Kalau aturan yang tegas belum ada, hakikatnya kalau hukum ada yang namanya logika hukum. Kalau mereka menggarap tanah itu turun temurun, itu bisa dikatakan masyarakat adat. Tapi harus diteliti dan dan dicek kembali, hutan dilepaskan tahun berapa kepada para penggarap. Ini tanggung jawab wali kota Batam," tuturnya.

Ia menambahkan, tidak ada istilah tanah milik negara. Tetapi, milik pemerintah sebagai pengelola negara.

Baca juga : Kenangan Teman SD: Ganjar Kecil Pendiam, Tapi Peduli Kawan

Semua wilayah Batam itu direncanakan akan menjadi milik pemerintah di bawah pengelolaan BP Batam, yang diberi Hak Pengelolaan Lahan (HPL).

Jadi, bila BP Batam mengajukan kerja sama dengan investor, maka investor akan dapat Hak Guna Bangunan (HGB) di atas HPL. Artinya pemilik tanah tetap pemerintah.

Ia menuturkan, pendudukan Pulau Rempang ini tidak serta merta menjadikan masyarakat tersebut menjadi pemilik tanah tersebut.

Garus ada kebijakan khusus dan tidak harus dipertahankan seperti kampung tua di tempat lain.

Model penyelesaian sengketa penguasaan tanah antara masyarakat dan BP Batam harus diawali dengan penelusuran riwayat tanah melalui sejarah, cagar budaya, tanda-tanda fisik alam.

Seperti, usia pohon atau tanaman keras yang ditanam, pengakuan dan kesaksian masyarakat serta lembaga adat.

Surat Deputi Bidang Hubungan Kelembagaan dan Kemasyarakatan Kementerian Sekretariat Negara Nomor B.2593/Kemensetneg/D-3/DM.05/05/2015 tanggal 12 Mei 2015 merupakan jawaban terhadap surat tuntutan masyarakat Kampung Tua kepada Presiden.

"Inti surat ini memerintahkan Gubernur Kepulauan Riau, Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Kepulauan Riau, dan Kepala Badan Pengusahaan Batam untuk membuat kajian dalam rangka penyelesaian," tuturnya.

Baca juga : 200 Personel Brimob Diberangkatkan Ke Pulau Rempang Amankan Pengunjuk Rasa

Sementara Pengamat Kebijakan Publik Agus Pambagio menduga ada tumpang tindih terkait dengan kepemilikan lahan sehingga mengakibatkan konflik agraria di Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau.

Agus pun meminta Kementerian ATR/BPN bisa memperbaiki data terkait dengan kepemilikan lahan di Pulau Rempang yang diduga ada tumpang tindih.

"Saya curiga setelah adanya rencana pengembangan Pulau Rempang di tahun 2000-an, kemudian banyak yang mencari tanah di sana dan dikasih surat sehingga kepemilikannya pun tumpang tindih. Nah ini yang harus dirapikan oleh pihak ATR/BPN," saran Agus.

Ia mengatakan, perencanaan adanya proyek di Pulau Rempang memang sudah sejak lama sekitar Tahun 2000-an.

Namun, proyek tersebut tak kunjung digarap dan lahan pun dibiarkan begitu saja, sehingga dijadikan tempat pemukiman masyarakat.

"Tapi perlu kita ketahui, di Indonesia mayoritas itu kepemilikan tanahnya itu kurang jelas, karena dari awal dulu surat menyurat itu mereka nggak punya, karena itu tanah negara, tapi sudah digarap ditinggali puluhan tahun begitu," kata dia.

Bahkan Agus menyebut bahwa secara legal, tak ada peraturan yang mengharuskan pemerintah melakukan ganti rugi terhadap tanah milik negara yang ditinggali masyarakat.

"Karena dalam peraturan kalau tanah milik negara kayak HGB dan sebagainya kalau diminta negara ya harus pergi," tegasnya. 

Baca juga : Menteri Hadi Tjahjanto Serahkan Sertipikat Tanah Seminari Labuan Bajo

Masalah konflik agraria itu pun menjadi bumerang bagi masyarakat terkait adanya statement janji kampanye Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada tahun 2019 lalu yang disebut akan memberikan sertifikat kepada masyarakat.

"Tadi saya lihat ada program kalo presiden kampanye pada tahun 2019 bahwa janji kasih sertifikat kaya gitu lho, dan itu tidak dikomunikasikan dengan baik," kata dia.

Sehingga, lanjutnya, ketika investor ingin membangun lahan tersebut menjadi terhambat karena kurangnya data studi sosial antropologi.

Menurutnya, dalam hal ini pemerintah tak mengkaji terkait dengan studi ilmu sifat manusia dan lain sebagainya.

Agus juga menduga adanya konflik kepentingan di balik permasalahan agraria yang ada di Pulau Rempang.

"Ya pasti lah ada yang menunggang. Kalau soal politik, pasti ada kepentingan lain apalagi mau Pemilu," tandasnya.

Update berita dan artikel RM.ID menarik lainnya di Google News

Dapatkan juga update berita pilihan dan breaking news setiap hari dari RM.id. Mari bergabung di Grup Telegram "Rakyat Merdeka News Update", caranya klik link https://t.me/officialrakyatmerdeka kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel.